Dia selalu merasa lebih segar setiap kali melewati jalan itu. Setiap sore atau pagi orang-orang senang berjalan kaki atau mengayuh sepeda di sepanjang trotoarnya yang lebar. Namun, ketika kota ditutup karena wabah yang tidak kunjung mereda, jalur itu benar-benar lengang. Terkadang hanya terlihat satu-dua orang melintas dan berhenti di halaman kantor pos tua yang letaknya di ujung jalan.
Hari itu kantor pos terasa lebih sepi. Gedung tua bergaya art deco yang menjadi ciri khas utamanya, mengirimkan suasana lengang dari masa lalu ketika dirinya memasuki halaman parkir. Seorang satpam yang selalu menyarankan untuk mencuci tangan sebelum memasuki ruangan, dua orang perempuan 30-an tahun yang melindungi wajahnya dengan masker dan selalu menatap layar komputer yang berkedip-kedip, segera menandai kehadirannya.
“Mengirim dokumen lagi, Pak?” sapa seorang petugas loket—perempuan yang rambutnya ikal dan berwarna cokelat karamel.
Dia tersenyum seraya mengeluarkan sepucuk amplop berwarna cokelat dari dalam tas ranselnya. “Makin sepi, ya?” ujarnya.
“Beginilah,” jawab perempuan itu. “Isinya dokumen lagi, ya?”
“Sebenarnya hanya surat biasa.”
“Sepertinya ini menyenangkan. Kebiasaan Bapak berkirim surat-surat seperti ini.”
“Di sini lebih menyenangkan,” tanggapnya. “Sesepi apapun pastilah bertemu orang-orang. Mereka mungkin mengirim buku, kado ulang tahun, dokumen penting, atau sekadar surat-surat biasa. Saya tidak bisa membayangkan jika kantor ini tutup. Orang seperti saya pastilah tidak punya alternatif lain untuk menyapa kawan-kawan lamanya.”
“Tidak ada yang menyenangkan pada masa seperti ini. Tapi kami harus di sini. Kangen juga pada waktu-waktu ketika tempat ini dikunjungi orang banyak. Mereka mengantre pada tanggal-tanggal tertentu untuk segala macam urusan. Tapi, jujur saja, Pak,” perempuan itu berhenti sejenak dan memelankan suaranya, “Belakangan, kami lebih tenang ketika tidak banyak yang datang.”