PADA suatu hari dia menelepon mantan istrinya dan menanyakan kabar putri kecilnya. Sejak dia memeluknya di depan pagar halaman dengan perasaan getir dan tangan mungil putri kecilnya itu melambai kepadanya dua tahun silam, mereka jarang sekali berjumpa.
“Dia bersama Anwar, berjemur di atas.”
“Oh, ini pukul berapa?”
Jeda sebentar. Suara bersin-bersin menyusup ke ujung gawai.
“Kami terserang flu ringan. Anwar menyarankan agar sering-sering berjemur.”
“Hanya flu ringan, kalian akan baik-baik saja,” tanggapnya. “Saya sebenarnya ingin mengusulkan sesuatu untuk mengusir kebosanan. Apa dia tidak terlihat bosan?”
Suara bersin-bersin kembali menyusup ke ujung gawai. Beberapa hari sebelumnya dia juga mengalami hal yang sama. Namun, setelah minum obat dan makan-minum lebih terkontrol dari biasanya, gejala itu pun mereda. Tidak sebatas itu.
Dia juga mengunjungi seorang dokter untuk memastikan kondisi kesehatannya. Flu-batuk yang awalnya diterima sebagai penyakit biasa, belakangan kerap dicurigai sebagai aib sekaligus mala petaka. Sudah dua bulan sejak wabah mematikan itu menyerang seluruh kota, orang-orang harus mengurung dirinya di dalam rumah. Sekolah-sekolah, kantor-kantor, sejumlah pabrik diliburkan sampai segala sesuatunya membaik.
“Bagaimana mungkin dia tidak bosan,” jawab mantan istrinya. “Dia paling tidak suka berdiam lama-lama di rumah.”
“Ya, saya mengerti. Dia pasti bisa melalui semua ini.”
“Kau punya ide tentang apa?”
Dia tidak segera menjawab, seperti tidak yakin dengan apa yang ada dalam pikirannya. “Saya mulai menulis surat lagi,” ujarnya kemudian. “Seminggu ini sudah lima surat.”
“Maksudmu, kau ingin mengatakan bahwa kau bisa jatuh cinta pada masa pandemi seperti ini?”