MULANYA aku tak pernah mempermasalahkan ketidakbisaan istriku memasak. Dulu, saat kami belum menikah, ia pernah jujur mengatakan padaku perihal ketakbecusannya meracik bumbu-bumbu dapur, merajang bawang merah dan bawang putih, memotong-motong wortel, meruwes-ruwes kangkung, bayam, dan seterusnya.
“Mataku gampang berair kalau motong bawang merah,” ujarnya sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa kala itu. Ia pun bercerita pernah mencoba iseng ikut masak di dapur bersama Mbok Sri, pembantunya yang setiap hari menyiapkan makanan untuk keluarga besarnya.
Dan ia langsung menyerah saat mencoba merajang bawang merah tapi kedua matanya berasa panas dan berair.
“Tapi aku janji akan belajar memasak, kok,” ujarnya kemudian.
“Kapan?” tanyaku sambil tersenyum.
“Ya, nanti kalau kita sudah menikah.”
Aku pun merasa cukup tenang mendengar penuturannya yang terdengar jujur dan keluar dari lubuk hati terdalam.
“Emang kamu mau nikah sama aku yang kere begini? Hehe,” aku terkekeh. Jujur aku masih tak yakin dengan ucapannya barusan.
Masa sih, Vira yang anak orang berada sudi menikah dengan lelaki yang sehari-harinya lebih banyak menghabiskan waktu di depan laptop. Sudah lima tahun aku menjalani kehidupan sebagai penulis dan editor lepas di sebuah penerbit.
“Ya, minimal kan kamu udah kerja, udah ada penghasilan gitu,” ia tersenyum dengan manisnya. Membuat bunga-bunga tiba-tiba muncul bermekaran di dada.
“Tapi penghasilanku pas-pasan, lho,”
“Nggak masalah, kita bisa mengirit, kan?”
Akhirnya aku pun merasa yakin bila ia benar-benar serius pacaran dan mau menikah denganku. Waktu itu aku merasa menjadi lelaki paling beruntung dan bahagia di dunia; mendapatkan gadis cantik, anak orang kaya tapi mau menerima segala kekuranganku.