Kendati beberapa kali saya mendengar suara ramai seperti riuh pasar di sebelah utara gumuk, tangis anak kecil yang beriring semerbak bunga, atau suara seseorang yang memanggil dan meminta menunggu, dan setelah menoleh tak ada orang, saya bersikukuh tak menanyakan hal tersebut sampai akhirnya Kakek Mur wafat di pangkuan sembari tersenyum.
Kini, lima belas tahun sudah kepergian Kakek Mur. Duduk di atas gumuk menghadap utara, saya membenarkan ramalannya yang berkata, “Suatu hari nanti, kau akan dapati keadaan, di mana sejumlah orang tak lagi makan padi, melainkan beralih pada kerikil dan bebatuan. Saat itulah, suara-suara yang tidak berasal dari mulut manusia serupa mantera paling agung.”
Gumuk ini jawabannya. Perlahan-lahan gumuk-gumuk di desa saya dibabat. Dikeruk, diambil pasir dan bebatu. Jika leluhur saya bercerita, akan ada masa di mana terdapat suara tanpa manusia, maka bunyi bego buktinya.
Bukankah alat berat yang dipesan pengusaha tambang demi mendulang kekayaan ini yang dikhawatirkan leluhur, sehingga mewarisi nasihat turun-temurun? Bukankah, pertemuan gerigi besi bego dengan bebatuan yang menghasilkan bunyi ngilu adalah mantera paling agung?
Harus saya akui, tak hanya ramalan itu yang terjadi. Segala cerita tentang kesakralan Juk Saiben, pettengan di zaman koloni, menyimpan padi di lumbung, dan tradisi mengucap nuwun sewu, kini ikut lenyap bersama terkikisnya lahan yang dibabat leluhur.
Bohong jika saya tak merasa kecewa musabab semuanya tinggal cerita. Namun, ada satu cerita yang tak akan senyap dari hidup saya.
Sebuah cerita di mana sebelum wafat, Kakek Mur berkata, saya dan Ibu tidak memiliki darah daging dengannya, sebab Nenek Asiani hanya memiliki keturunan dari hasil perkawinan paksa antara selangkangan perempuan dan mani lelaki di masa kompeni. Tetapi Kakek Mur menyayangi kami tanpa peduli noda hitam di atas putih. ***