Agak lama kami saling berdiam diri. Sampai akhirnya Kakek Mur mengajak saya pulang, dan ia memasang tampang datar seakan tak pernah terjadi sesuatu yang buruk di masa silam.
Ketika hari berikutnya, dan berikutnya lagi, saya tak berani meminta Kakek Mur bercerita tentang koloni. Pun begitu Kakek Mur, tak pernah mengulang apa yang pernah disampaikan petang itu. Sebagai lelaki, saya memahami kalau menyimpan dan memendam perasaan tanpa diutarakan adalah pekerjaan yang mesti dilakoni.
Meski begitu, Kakek Mur masih menunggu saya ketika hendak memasang bubu di tepi Sungai Mayang. Ada satu kebiasaan yang dilakukan Kakek Mur sebelum menaruh perangkap ikan itu.
Ia selalu mengucap permisi semacam nuwun sewu tiga kali dengan tubuh melawan arus, lalu kedua tangannya melakukan gerakan berdoa. Sewaktu saya bertanya, ritual apa yang ia lakukan, Kakek Mur berkata kalau itu adalah cara menghormati alam semesta.
Sering Kakek Mur melarang saya kencing sembarangan, terutama di semak belukar dan di balik pepohonan. Ia tidak segan-segan melempar batu padahal saya baru saja mengeluarkan burung dari sangkar. Percaya atau tidak, menurut Kakek Mur, dua tempat itu dihuni makhluk halus. Apabila mereka tidak senang dikencingi, maka mereka akan mengganggu manusia tadi.
“Manusia saja yang kurang ajar. Mereka menghormati kita, tetapi kita tidak bisa menghormati alam mereka.”
Supaya tak meneruskan amarahnya, cepat-cepat saya mendekatkan diri ke arah telinga Kakek Mur, dengan suara agak lantang, saya memintanya bercerita tentang leluhur.
Ini adalah cara manjur sebab Kakek Mur sangat antusias, dan saya hanyut dalam arus percakapan panjang. Saya heran, mengapa manusia sangat senang mengenang tanpa mengenal batasan umur.