Pernah ada penjual sapi, mencoba membuktikan riuh bicara orang, ia injak bekas air liur Juk Saiben, pulangnya ia panas tak karuan dengan tubuh kejang-kejang.
Tak jarang Kakek Mur meminta saya berziarah ke makam Juk Saiben. Agaknya, ia menginginkan saya mendatangi makam leluhur pada hari-hari yang dianggap sakral. Terutama di bulan Suro yang dianggap menyimpan sial.
Padahal menurut Kakek Mur, ritual larangan yang menjauhi pesta pora saat bulan Suro bertujuan untuk menyucikan jasmani dan rohani dari gelimang duniawi. Akhirnya, berbekal kembang dan sapu, saya bersama Ibu mendatangi makam Juk Saiben.
Selain mengirim doa untuk almarhum, kami membersihkan daun-daun mahoni yang jatuh berguguran di atas makam, dan mencabuti rumput-rumput yang berkelindan di sekitar kubur.
Saya akui, cerita di luar nalar semacam kesaktian leluhur adalah bagian dari kekayaan khazanah hidup di muka bumi. Saya mempercayainya dengan sungguh-sungguh sebagaimana saya mempercayai kedatangan Hari Akhir.
“Kalau kau ingin bertemu dengan rupa Juk Saiben, tanyakan pada kakekmu amalan apa yang ia lakukan. Niscaya Juk Saiben akan menampakkan diri lewat mimpi,” kata Ibu sembari menyapu.
“Apa Kakek punya amalan panjang usia?”
Ibu terkekeh. “Tiada guna panjang usia kalau selama hidupmu menyakiti orang dan merusak alam. Tentu akan lebih bagus kalau kau panjang usia dengan merawat sikap kasih sayang. Tetapi, apa manusia bisa mengubah ketentuan Allah Ta’ala?”
Saya tak pernah menanyakan perihal amalan yang Kakek Mur lakukan. Saya tak terlalu berani menyepuh hidup dengan lakon semacam itu. Cukuplah apa yang terlihat dan apa yang tidak terlihat di alam semesta ini, tak pernah lenyap dari ingatan saya.