Ramalan Kakek Mur

CERPEN NURILLAH ACHMAD

Kata Kakek Mur, para leluhur yang membabat kampung, tak hanya menggunakan alat manual, melainkan mencampurnya dengan doa berisi puja-puji pada alam. Tak sembarang waktu mereka memapas semak belukar atau membuka huma sebagai tempat berladang.

Untuk menanam padi saja, mereka mesti membuat tajin putih dan cokelat yang dicampur gula aren, kembang, menyan dan dupa. Semua perangkat itu ditata di dalam wadah daun, lalu ditaruh di sudut sawah yang hendak ditanami padi.

Sebelum pekerja menanam bibit padi, pemilik sawah akan berdoa terlebih dulu, memohon keselamatan dan rezeki yang berlimpah, kemudian ia membakar menyan dan dupa.

Begitu pula sebaliknya. Ketika masa menuai tiba, pemilik sawah melakukan hal yang sama. Bedanya hanya ada pada doa. Dalam doanya itu, ia mengucap terima kasih atas hasil padi yang selama tujuh bulan dirawat.

Saya masih percaya, jika di zaman dulu, banyak orang sakti tanpa memakai senjata. Terutama pembabat desa. Kuburnya yang berada di atas bukit, kerap didatangi orang yang memiliki hidup pelik.

Entah soal sakit yang diderita sanak keluarga atau musabab yang lain, mereka kerap berdoa di sana. Juk Saiben, misalnya. Selaku leluhur yang membabat tempat tinggal, makamnya masih didatangi orang.

Ibu membenarkan dengan mata sayu. Ketika kecil, sakit saya tak berkesudahan. Panas dan mengigau tiap malam. Pada petang hari, Kakek Mur menaruh air di makam Juk Saiben, lalu keesokan hari sebelum fajar memecah hari, ia ambil gelas itu, dan diminumkannya pada saya. Aneh. Badan saya tak lagi panas dan berangsur-angsur sehat.

Pada masanya, Juk Saiben terkenal sebagai insan yang mampu menaklukkan angin sakal, menjinakkan macan hutan, dan tak pernah merutuk geram pada lawan bicara. Apabila berludah, Juk Saiben tak sembarang membuang liur sebab liurnya membawa celaka.

Lihat juga...