Kakek Mur mengajak Nenek Asiani, istrinya, mendaki gumuk di belakang rumah.Di gumuk itu, Kakek Mur menggali batu dan membuat lobang semacam gua yang muat dihuni dua orang. Ketika pribumi itu datang memberi pengumuman akan terjadi pettengan, orang-orang menjauhi rumah, dan sembunyi di tempat aman.
Ada yang naik ke atas bukit, ada memasuki rerimbun tebu. Kakek Mur dan istrinya lari terbirit-birit menuju goa buatannya. Dari sana ia mendengar teriakan orang Belanda. Setelah teriakan mengerikan itu reda, ia memberanikan diri turun dari gumuk, dan melihat keadaan sebenarnya.
Sial sungguh sial. Bukan pettengan yang terjadi melainkan tipu muslihat yang dilakukan koloni. Gabah hasil panen yang ditaruh di dalam lumbung padi yang terbuat dari anyaman bambu berukuran besar dan bertiang yang ditempatkan di sebuah ruang pada bagian belakang rumah, ludes tak tersisa.
Tak hanya Kakek Mur yang merasakan nasib serupa. Penghuni rumah yang lain mengalami nasib buruk yang sama. Saya bisa menangkap sisa-sisa amarah dari raut wajah Kakek Mur. Berkali-kali bibirnya gemetar ketika menyebut koloni.
Nyaris saya ingin mengumpat, merasakan perihnya dibungkam dan dilenyapkan kebodohan. Akal saya tak mampu mencerna, membayangkan perasaan Kakek Mur ketika itu. Tujuh bulan merawat padi yang hanya diberi pupuk kotoran sapi bukanlah perkara mudah.
Lama sekali Kakek Mur menarik napas sebelum akhirnya meneruskan cerita, bahwa usai menengok keadaan itu, ia hendak menjemput Nenek Asiani di dalam goa. Namun, kesialan beruntun terjadi. Kakek Mur mendapati istrinya menangis sesegukan tanpa sehelai pakaian.
Dada Kakek Mur kian menyala. Apalah arti gabah dibandingkan harga diri keluarga. Sempat ia melihat istrinya berjalan lunglai ke arah jurang yang tak jauh dari gumuk tempatnya berada. Namun, cepat-cepat Kakek Mur berlari, dan mendekap sang istri sebelum berhasil menerjunkan diri ke dalam bebatuan.