Saya tidak akan mewariskan sejarah yang menunjukkan bahwa di Indonesia pernah terjadi perebutan kekuasaan dengan kekuatan bersenjata.
Saya tidak mempunyai sedikit pun pikiran di benak saya, untuk melakukan coup atau gerakan yang bernoda. Gerakan serupa itu, menurut saya, tidak akan berhasil. ‘Kalau saudara-saudara mau begitu, silakan, tetapi saya tidak akan turut,’ kata saya.”
Sejak pemberontakan G30S/PKI, situasi politik dan keamanan bertambah tidak kondusif, dibarengi perekonomian yang carut-marut membuat legitimasi Bung Karno semakin hari semakin tergerus. Legitimasi beralih ke Pak Harto dan banyak yang menghendaki agar dualisme ini secepatnya diakhiri, namun Pak Harto berpegang bahwa dia mikul dhuwur mendem jero kepada Bung Karno, dan hanya berlandaskan konstitusi dalam menyikapi arus perubahan ini.
Kemal Idris Diminta Take Over dari Pak Harto
Dalam kondisi adanya dualisme pimpinan nasional paska pemberontakan G30S/PKI, langkah Pak Harto dianggap lamban membuat beberapa tokoh tidak setuju dengan cara seperti itu. Dianggap lamban karena mereka berkehendak agar Pak Harto sesegera mungkin mengambil alih pimpinan nasional dari Bung Karno.
Beberapa tokoh nasional tidak sabar atas sikap Pak Harto memberlakukan Bung Karno ditulis di buku Letnan Jenderal Kemal Idris —Bertarung Dalam Revolusi— disebutkan; “Saya masih ingat, pada tahun 1966, ipar saya Widjatmiko datang ke Kostrad (waktu itu Kemal Idris Panglima Kostrad, pen.) mengabarkan bahwa saya dipanggil Sri Sultan Hamengku Buwono IX di rumah Mashuri di jalan Agus Salim, Jakarta.
Di sana sudah menunggu Sri Sultan, Adam Malik, dan Mashuri. “Kemal, kamu take over, ambil alih kekuasaan dari tangan Soeharto,’ ucap Sri Sultan. Soeharto dinilai terlalu lamban dalam mengambil keputusan-keputusan. Saya terperanjat. Saya tidak pernah berfikir ke arah itu.”