Bung Karno & Pak Harto (Bagian 4)

OLEH NOOR JOHAN NUH

Menindaklanjuti kewenangan yang ada dalam Supersemar, pada 18 Maret 1966, 14 menteri yang terindikasi terlibat dalam G30S/PKI ditangkap. Pada titik ini, jika Bung Karno tidak mempercayai kewenangan Pak Harto yang termaktub dalam Supersemar, dengan sangat mudah Presiden Soekarno sebagai Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi, memecat Letnan Jenderal Soeharto.

Namun faktanya, setelah menteri-menteri itu ditangkap dan Presiden Soekarno me-reshuffle kabinet pada 27 Maret 1966 (dua minggu setelah Supersemar), Letnan Jenderal Soeharto malah diangkat menjadi  Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan dan Keamanan, selain sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat.

Dengan kewenangan yang ada dalam Supersemar, beberapa orang tokoh politik dan  tentara  menghendaki agar Pak Harto bertindak lebih jauh lagi. Di tengah  konflik politik dan situasi keamanan yang belum pulih bahkan tambah tidak kondusif, mereka berkehendak agar Pak Harto tampil lebih maju ke depan, mengambil alih pimpinan nasional. Mereka menghendaki  agar secepatnya ada perubahan,  agar konflik yang berkepanjangan ini dapat diakhiri.

Didorong Mengambil Alih Kekuasaan

Situasi yang tidak kondusif dan tekanan agar Pak Harto mengambil alih kekuasaan dari Bung Karno  dituliskan dalam biografi Pak Harto; “Saya didorong-dorong di tengah konflik politik untuk tampil ke depan. Ada politisi yang tidak sabar akan perubahan dan penggantian pimpinan. Sampai-sampai mengusulkan supaya saya mengoper begitu saja kekuasaan negara.

Usul tersebut langsung saya jawab: “Kalau caranya begitu, lebih baik saya mundur.’  Cara-cara seperti itu bukan cara yang baik. Merebut kekuasaan dengan kekuatan militer tidak akan menimbulkan stabilitas yang langgeng.

Lihat juga...