Bung Karno & Pak Harto (Bagian 4)

OLEH NOOR JOHAN NUH

Berdasarkan Supersemar, keesokan harinya, 12 Maret 1966, atas nama Presiden, PKI dibubarkan. Keesokan harinya, 13 Maret, melalui Perdana Menteri II dr. Leimena, Presiden Soekarno mengirim surat kepada Letnan Jenderal Soeharto yang isinya berkeberatan atas pembubaran PKI.

Dikatakan bahwa Supersemar adalah untuk teknis bidang ketertiban dan keamanan, bukan untuk tindakan politis. Pak Harto dapat  memaklumi kemarahan Bung Karno karena dalam beberapa kali mereka berdialog, saran Pak Harto agar Presiden Soekarno memenuhi tuntutan pembubaran PKI, dia selalu berkeberatan karena Nasakom telah diperkenalkan kepada dunia. Namun sangat mungkin Bung Karno mengingat dialognya dengan Pak Harto yang menyebutkan, jika masalahnya tentang kredibilitas Bung Karno pada dunia, maka Pak Harto siap menjadi bemper.

Tidak Ada Stabilitas Jika PKI tak Dibubarkan

Di buku Gerakan 30 September tulisan Julius Pour, Pak Harto menjawab Leimena; “Sampaikan kepada Bapak Presiden, semua tindakan yang saya lakukan merupakan tanggung jawab saya pribadi.

Bagaimana saya bisa menjamin kestabilan pemerintahan berikut menjaga keamanan beliau kalau PKI–nya tidak dibubarkan. Kepada beliau sudah saya jelaskan, prinsip yang saya pakai adalah mikul duwur mendhem jero. Maknanya, kehormatan orang tua harus selalu kita junjung tinggi, sementara segala kekurangan mereka harus bisa kita timbun dalam lubuk paling dalam.”

Jawaban Pak Harto tersebut di atas, hampir serupa dan sebangun dengan peristiwa dua puluh tahun yang lalu, 3 Juli 1946, di mana Pak Harto menolak perintah Presiden Soekarno menangkap Jenderal Mayor Soedarsono.

Malah Diangkat Menjadi Wakil Perdana Menteri

Lihat juga...