Pagebluk dan Telur Naga Merah

CERPEN SETIA NAKA ANDRIAN

“Begini, Mas Aji, Mas Samsul,” Pak Ahyar mendekati kedua anak muda itu. Sontak Aji dan Samsul memberinya tempat untuk duduk bersebelahan.

Keduanya antusias pasang telinga untuk lekas menadah apa saja yang akan keluar dari mulut Pak Ahyar. “Waktu itu, tengah malam hampir serupa ini. Hanya saja saat itu langit cerah. Tidak sedang hampir hujan seperti sekarang. Pak Lurah dan Ki Mahmud mampir di angkringan ini. Mereka pesan kopi panas.”

“Wah, Pak Lurah dan Ki Mahmud mau apa tengah malam mampir ke sini, Pak?” Samsul makin penasaran, hingga ia menunda niat untuk menyalakan kembali kreteknya yang baru saja mati. Aji mengangguk, memberi penguatan. Kedua mata mereka menatap ketat ke arah Pak Ahyar.

“Ada pembicaraan yang tak sengaja saya dengar malam itu. Sama persis seperti malam ini yang saya dengar dari kalian. Saya ingat, saat saya mendengar itu, tentu sebelum kabar telur itu gempar di kampung ini. Kalau tidak salah, baru satu minggu kemudian desas-desus tentang telur ini merebak ke mana-mana.”

Aji dan Samsul kian khidmat. Seakan tidak ingin sepatah kata pun yang meluncur dari mulut Pak Ahyar tak tertangkap telinga mereka.

“Pak Lurah bicara sangat pelan kepada Ki Mahmud. Nampak sangat berhati-hati sekali. Seakan takut jika saya mendengar. Pak Lurah meminta tolong kepada Ki Mahmud, agar ia mau memberi petunjuk untuk menangkal pagebluk yang sedang merebak ini. Awalnya Ki Mahmud bernada menolak halus.”

“Wah, kenapa sampai menolak, Pak? Bukankah Ki Mahmud itu orang pintar yang terkenal sangat suka membantu siapa saja?” Dengan masih penuh penasaran, cerocos Samsul memutus pembicaraan Pak Ahyar begitu saja.

Lihat juga...