Asap dihembuskan dari mulut dan hidungnya dengan penuh kelegaan. Meski matanya seakan menerawang jauh. Entah ke mana. Aji dan Samsul duduk bersebelahan. Di sebuah kursi kayu panjang, tepat di depan gerobak angkringan.
“Mas Aji, Mas Samsul. Maaf ya, saya tadi tak sengaja mendengar pembicaraan kalian. Diam-diam saat saya mengurus gorengan, kisah yang kalian bicarakan turut mengusik saya. Namun saya diam saja. Sebab takut juga kalau ikut berkomentar,” tutur Pak Ahyar, pemilik angkringan yang begitu lugu dan dikenal baik hati itu.
“Lho, takut kenapa, Pak?” Aji penasaran.
“Ya, kenapa bisa takut, Pak?” Samsul turut tanya.
“Sebentar, ya. Saya sambil mengemasi dagangan dulu. Hari sudah larut. Sebentar lagi hujan sepertinya juga akan turun.”
Aji dan Samsul kian penasaran. Mereka nampak tak sabar ingin mendengar penjelasan Pak Ahyar yang sedang berkemas memberesi dagangannya.
Meski usianya sudah setengah abad lebih, namun ia masih nampak segar menjalani hari-harinya dengan berjualan hingga larut malam.
Hampir setiap malam ia membuka angkringannya. Meski telah ada edaran dari pemerintah agar warung-warung ditutup. Termasuk terkait pembatasan kerumunan. Namun kampung ini cukup jauh dari pusat kota.
Orang-orang keras kepala sesekali masih keluyuran. Meski sekadar untuk cari angin dan minum kopi di angkringan. Termasuk anak muda semacam Aji dan Samsul.
Angin dingin menyambar kian kencang. Langit nampak mendung, kian gelap. Aji menarik risleting jaketnya hingga leher. Samsul membetulkan dan mengencangkan gulungan sarungnya mengitari leher.
Gemuruh guntur sesekali memecah suara angin yang menampari daun-daun pepohonan. Sudut perempatan jalan tempat gerobak angkringan itu memangkal pun tak ditemui orang lain selain mereka.