“Ada yang ingin kusampaikan kepadamu,” ujar Ajat.
“Bukankah nanti bisa? Apalagi kau harus menyiapkan diri.”
“Ini penting dan tidak bisa ditunda,” sahut Ajat sambil mendekati Jayanti.
“Tentang apa, Jat?”
“Masih sama dengan yang dulu. Aku ingin menikahimu,” ucap Ajat sembari tangannya berusaha menyentuh pipi Jayanti.
“Jat!” Spontan Jayanti menghalau tangan Ajat.
Sepertinya Ajat sudah gelap mata dan tak ingin kali ini usahanya gagal. Ajat meringkus kedua tangan Jayanti dan mengikatnya dengan tali yang rupanya telah disiapkan di saku celanannya.
Beberapa kali Jayanti sempat berteriak, tapi Ajat cepat membungkam mulut Jayanti dengan kain yang juga sudah disiapkan sebelumnya. Dengan sigap Ajat langsung merobohkan tubuh Jayanti ke lantai.
Setelah itu dengan beringas Ajat menyingkap jarik yang dikenakan Jayanti sampai setinggi selangkangannya. Bagai kesetanan Ajat memperdayai Jayanti yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Usai melampiaskan nafsunya, Ajat melepas tali dan kain yang menjerat Jayanti. “Sampai ketemu di pawai. Usai pesta ngarot kita pasti akan dinikahkan,” ujar Ajat sebelum kemudian berlalu.
Pesta Ngarot dimulai dengan diawali pawai beberapa gadis dan perjaka desa. Wajah para gadis ceria dengan berkebaya dominasi warna merah, berkain batik, berselendang, dan bagian kepala dirias berbagai bunga.
Pakaian mereka serba indah, dilengkapi aksesoris gemerlap, seperti kalung, gelang, giwang, bros yang semuanya berwarna emas. Mereka berjalan keliling desa.
Sedangkan jejakanya memakai setelan baju warna terang dengan celana hitam dan lebar, dilengkapi pula ikat kepala. Barisan mereka berjalan mengikuti di belakangnya.