Sinterklas

CERPEN EDY FIRMANSYAH

Ribuan peri berlompatan dari kelopak bunga ke lain kelopak bunga. Sebuah gereja besar, jauh lebih besar dari Katedral, berdiri di depannya.

Menaranya memancarkan cahaya pelangi. Di samping gereja tampak danau dengan dermaga kecil dengan sebuah perahu tertambat. Airnya begitu bening sehingga bayangan ikan berenang terlihat dari kejauhan.

Ladrak berkali-kali mengucek matanya. Barangkali hanya mimpi. Tapi taman bunga yang terbentang luas itu tidak lenyap dari pandangannya. Kemudian lonceng gereja berdentang. Sayup terdengar lagu kebaktian. Begitu sejuk dan menentramkan.

Tiba-tiba Ladrak mendengar suara ibunya memanggil-manggil. Ketika menoleh ia lihat jalanan penuh orang-orang panik. Asap hitam membumbung bergumpal-gumpal seperti busa sabun cuci yang sering ia mainkan waktu mandi.

Api berkobar, raung sirine pemadam kebakaran, teriakan histeris perempuan, rumah-rumah rubuh menjadi arang. Rumah-rumah di perkampungan kumuh. Perkampungan Ladrak.

“Ladrak! Ladrak!”

“Ibu! Ibu!”

Ladrak melihat mata ibunya merah. Ladrak melihat ibunya menangis. Api terus membumbung tinggi. Pekat hitam di langit. Mata Ladrak perih.

Ladrak kemudian berlari menyongsong ibunya. Tapi ketika dirinya sudah sangat dekat dengan ibunya segalanya lenyap. Ladrak lantas menutup matanya sambil berdoa keselamatan ibunya. Saat itulah Sinterklas melompat ke dalam tubuhnya.
***
SETAHUN kemudian, di sebuah mall yang berdiri di bekas perkampungan miskin yang terbakar itu tampak seorang Sinterklas duduk terkantuk-kantuk di pintu masuk. Tampak juga antrean panjang orang-orang membawa belanjaan untuk Natal. Di antara antrean itu tampak berdiri David dan Melani.

Lihat juga...