Monyet dan Kekasihnya

CERPEN ARIS KURNIAWAN

DUA ratus tahun kemudian kami akan dipertemukan lagi sebagai sepasang kekasih dalam wujud yang sempurna: dia lelaki tampan dan aku perempuan jelita. Dua ratus tahun bukan waktu sebentar terutama dalam hal kesiapan mental menghadapi beratnya godaan untuk berpaling dari janji setia.

Setiap hari aku memandangi matanya memejam dalam tidur panjang yang menggelisahkan. Dia terbaring di dalam peti kayu jati tua yang kulapisi kain berenda di tepiannya. Dia seorang prajurit yang hebat dan gagah berani.

“Aku mencintaimu, Samba.”

Kalimat itu selalu mengiang di telingaku. Aku tahu dia mengucapkannya dengan sungguh-sungguh. Karena itu aku tak pernah meragukannya. Meskipun ini menjadi beban berat bagi kami setelahnya.

Bersama rombongan pasukannya, dia singgah di desa kami. Mereka akan menghadang dan menumpas pasukan pemberontak Pangeran Kejaksan yang memihak penjajah.

“Mereka para pengkhianat, Sultan,” bisiknya menahan geram, suatu malam. Rahangnya berbentuk persegi, alis matanya tebal, bentuk hidungnya besar dan dahinya yang lebih maju membuatnya terlihat begitu jantan dan mengesankan berangasan.

Tapi sorot mata agak sayu dan bibirnya yang pipih tak mampu menyamarkan ketampanannya. Aku tak bisa menyangkal bahwa aku menyukainya sejak detik pertama melihatnya. Perasaan yang membuatku gelisah jika memikirkannya.

Mereka membawa persenjataan lengkap. Mereka tidak hanya singgah, melainkan beberapa pekan tinggal di desa kami. Karena pasukan pemberontak yang mereka tunggu tak kunjung muncul. Mereka menginap di rumah-rumah penduduk dan hidup menyatu dengan kami. Aku membantu ibuku yang membuka warung nasi dan melayani rombongan prajurit makan. Aku bersemangat membantu ibu di warung saban rombongan prajurit itu datang. Aku berharap selalu ada di antara mereka.

Lihat juga...