Ditambah lagi, Topo yang ditunjuk sebagai panglima perang. Mereka pasrah dan menerima apa pun yang menjadi takdir desa Seloso ini.
***
BENAR apa yang dikatakan Mbah Mardi, Topo yang sudah lama sekali tidak terlihat, datang setengah jam sebelum perang dimulai. Para warga menatapnya ragu. Pedang wasiat itu diberikan Pardi pada Topo dengan penuh keraguan.
Topo mengacungkan pedang itu tanpa mengatakan apa pun, ia memberi tanda pada para warga yang hendak ikut berperang, untuk bersiap diri. Wajah mereka tertunduk lesu. Harapan seolah pudar dari hidup mereka.
Tetapi tidak dengan Topo. Ia sangat semangat, memacu kudanya, membelah cahaya memasuki hutan yang menjadi tempat yang disetujui untuk berperang.
Desa Seloso lebih dulu didatangi. Baru setelahnya, Desa Rebo yang dipimpin Walidi didatangi. Derap-derap kuda mereka menggetarkan hati warga Desa Seloso, menciptakan getir dan ketakutan sehingga membuat pikiran mereka tidak fokus.
Namun hal aneh terjadi ketika Walidi berada di depan pasukan Desa Seloso. Ia meletakkan senjatanya. Lalu melangkah ragu mendekati Topo yang telah berdiri gagah sambil mengacungkan pedangnya.
“Topo…” Walidi dan Topo terkejut, mereka saling pandang. Topo ingat wajah lelaki yang ada di depannya. Yah, ia ingat, Walidi adalah ayahnya. Mereka terpisah saat Walidi mengajak Topo berburu.
“Mana mungkin aku akan berperang dengan anakku sendiri?” Walidi memeluk Topo, Topo melempar pedang itu, membalas pelukan Walidi, ayahnya sendiri.
Peperangan dibatalkan. Desa Seloso dan Desa Rebo menjadi sekutu. Walidi mengunjungi makam Mbah Mardi.
“Begitu liciknya dirimu. Kau mempercayai pedang sakti itu pada anakku yang tidak bisa membaca, menulis, agar aku menghentikan perang dan mengurungkan niat menyerang desamu. Tetapi di sisi lain, aku sangat menghormatimu sekarang. Terima kasih,” Walidi menciumi batu nisan makam Mbah Mardi.