“Jangan tinggalkan kami dan desa ini,” Pardi seketika langsung memeluk tangan Mbah Mardi.
“Tidak. Waktuku mengabdi sudah habis. Tuhan sudah ingin bertemu denganku. Sekarang giliran kalian yang menjaga desa ini. Ketahuilah, bila kalian tidak melanggar perintah Tuhan, maka Tuhan sendirilah yang akan menjaga desa ini,” Mbah Mardi mengusap lembut rambut Pardi.
“Pedang ini akan aku wariskan pada Topo,” ungkapan dan penunjukan Mbah Mardi membuat mereka nyaris tak percaya. Topo adalah pemuda yang ditemukan Mbah Mardi di tengah hutan.
Dia tidak bisa membaca, menulis dan hanya bengong saja kesehariannya. Para warga sering kesal dengannya karena dia tidak pernah nyambung ketika diajak berbicara.
“Apakah keputusan Mbah Mardi sudah mantap?” Suro bertanya dengan nada yang penuh keraguan.
Mbah Mardi mengangguk. Ia meyakinkan lagi pada mereka agar mempercayai Topo. Topo akan datang ketika perang akan dimulai.
Bila desa ini ingin selamat, berikan pedang wasiat itu pada Topo dan biarkan dia memimpin peperangan. Begitulah wasiat terakhir Mbah Mardi sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Mendengar kabar kematian Mbah Mardi semakin membulatkan tekad Walidi. Pasukan berkudanya sudah terlatih dengan baik, pemanah handal yang dimilikinya juga sudah dia persiapkan untuk menyerang dari jauh.
Strategi perang sudah ia rencanakan sebaik mungkin. Kemenangan yang dia bayangkan di depan mata membuat tawanya tak berhenti.
Di sisi lain, Desa Seloso sedang berduka. Pemakaman Mbah Mardi diiringi tangis, duka dan ketakutan yang mencekam. Mereka pasrah bila memang desa ini kalah. Peperangan yang sama sekali belum dipersiapkan akan mengakibatkan kekalahan.