Pedang Wasiat

CERPEN KHAIRUL ANAM

Mbah Mardi terkulai lemas di ranjang. Ia sudah tidak bisa berdiri lagi. Tubuhnya juga sudah tidak bisa menopang dirinya, bahkan untuk duduk bersandar pun, ia tak mampu.

Mbah Mardi juga enggan dibawa ke puskesmas atau dipanggilkan dokter. Ia menerima penyakit ini dengan ikhlas. Mungkin ini adalah takdir dari tuhan yang harus diterima dengan lapang dada.

Kabar semakin parahnya penyakit Mbah Mardi, santer terdengar hingga sampai ke telinga para pemimpin desa lain. Tentu ini akan memicu pertempuran hebat. Mereka yang masih memendam dendam, hasrat untuk menguasai desa ini, akan melancarkan penyerangan secara terus menerus.

Bukan hanya wilayah, mereka juga akan merebut pedang milik Mbah Mardi. Pedang sakti itu memang sudah diincar oleh banyak orang, terutama para pemimpin desa. Namun dari berbagai desa, yang memiliki hasrat paling tinggi menyerang desa ini adalah desa Rebo.

Walidi pemimpin desa Rebo, diam-diam sudah berencana membunuh Mbah Mardi dan menunggu waktu seperti ini.

Para warga desa panik ketika sang mata-mata yang dikirim ke desa Rebo melihat persiapan yang dilakukan Walidi begitu disiplin dan tertata rapi.

Pardi, Darmo, Suro dan Untung berbondong-bondong ke rumah Mbah Mardi dan mengabarkan semuanya. Mereka meminta Mbah Mardi menentukan siapa yang akan memimpin peperangan dan memegang pedang sakti miliknya bila pertempuran terjadi.

“Kalian benar, aku harus memutuskan dan menunjuk siapa yang tepat menerima pedang ini. Karena aku merasa usiaku juga sudah tak lama lagi. Aku tentu juga tidak bisa memimpin perang itu sendiri.”

Pernyataan Mbah Mardi membuat mereka tercengang. Darmo menelan ludah. Apakah ini pertanda, Mbah Mardi akan meninggalkan desa ini? Jika benar, lalu siapa yang akan menjaga desa ini lagi? Raut wajah mereka berubah. Kesedihan mengukir di urat-urat dan kerutan wajah mereka.

Lihat juga...