Pedang Wasiat

CERPEN KHAIRUL ANAM

“Amin.”

“Tetapi bukankah usia Mbah Mardi sudah tidak muda lagi?” Untung membuka pembicaraan lagi.

“Benar juga katamu Tung. Tidak ada yang abadi. Mbah Mardi pun suatu saat juga akan tiada. Kita harus cepat memikirkan siapa penggantinya,” Suro memasang wajah khawatir, saat mengingat usia Mbah Mardi yang sudah semakin dimakan waktu.

“Tetapi bukankah tidak ada yang sekuat dan sehebat Mbah Mardi di kampung ini. Saya tidak setuju bila harus ada persaingan atau sayembara untuk menjadi yang terkuat di desa ini. Jika itu terjadi bakalan desa ini tidak akan serukun ini lagi. Saya menolak keras,” Pardi menanggapi perkataan Suro. Tanggapan itu juga didukung oleh kebanyakan warga.

“Sudah. Sudah, bukan itu yang seharusnya kita pikirkan. Sebaiknya kita memikirkan dan mencari cara agar Mbah Mardi cepat sembuh dan pulih seperti sediakala,” Ibu Asih menengahi mereka.

“Betul itu. Sebaiknya kita sering-sering menjenguk Mbah Mardi atau kalau tidak malah kita bawa saja Mbah Mardi ke Puskesmas,” Aini mendukung masukan dari Asih. Sembari menyisipkan usulannya.

Mereka bubar setelah musyawarah menemukan titik terang. Rencana menjenguk direncanakan oleh masing-masing warga. Menjenguk Mbah Mardi ketika sedang kurang sehat merupakan salah satu bentuk terima kasih atas keamanan, ketenangan dan kesejahteraan desa ini semenjak dipimpinnya.

Desa-desa lain yang ingin hendak merebut wilayah desa ini, selalu terhalang oleh kehebatan Mbah Mardi. Karena kekayaan alamnya yang melimpah di desa ini, banyak dari desa lain ingin merebut dan menguasai wilayah ini.

Tetapi tentu saja usaha mereka sia-sia saat berhadapan dengan Mbah Mardi. Kemunculan Mbah Mardi memang menjadi sebuah ikon desa. Mereka tidak mengetahui kapan Mbah Mardi muncul dan menetap di desa ini.

Lihat juga...