Keabadian

CERPEN ERWIN SETIA

“Iya, Yah, aku juga mau cepat-cepat ganti pakaian dan main bola sama teman-teman,” timpal Ryan.

Ayah dan dua bocah itu berjalan bergandengan tangan menuju ke rumah. Angin sore yang terasa lebih sejuk dari biasanya menyapu-nyapu tubuh mereka. Sinar matahari tak terlampau silau.

Rumput-rumput di tepi jalan bergoyang. Beberapa rumpun kembang di dalam pot-pot tetangga mendadak layu.

Noto dan kedua anaknya langsung masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam. Ruang depan tampak begitu sunyi dan dingin. Di atas meja, tiga piring berisi nasi dan lauk pauk telah tersaji. Tiga gelas air putih dan sepiring kue turut menemani. Tak sabaran, Rani hendak mencaplok kue.

“Rani, cuci tangan dan salaman kepada ibu dulu, baru boleh makan,” cegah Noto. “Kamu juga, Ryan.”
Setelah melepaskan seragam sekolah dan menaruhnya asal-asalan dua anak itu mencuci tangan di wastafel, lalu memasuki kamar ibu mereka dengan heboh.

Hanya dalam hitungan detik, dua anak itu keluar dari kamar ibunya, berteriak.

“Ayah, ayah! Ibu kenapa?” seru mereka bergetar sambil mengajak ayahnya untuk segera melihat ibu mereka di kamar.

Noto bergegas masuk ke kamar. Seketika pikirannya runtuh dan tubuhnya lunglai manakala mendapati istrinya terbaring pucat dan dingin seperti mayat—tidak, bukan seperti, ia betul-betul telah menjadi mayat.

Di sisinya, Rani dan Ryan meraung-raung memanggil ibu mereka. Kepala Noto tak sanggup mencerna dengan baik seluruh kenyataan yang teramat tiba-tiba. Seperti ada batu besar jatuh menghantam kepalanya dari atap.

Satu kata tersisa di kepalanya: keabadian. Satu penyesalan menggerogoti benaknya: tadi siang adalah jadwal pengobatan rutin kanker rahim Gita, kenapa ia bisa lupa. ***

Lihat juga...