“Lebih dari itu,” ucap istrinya lembut. Tangan halusnya mengelus bahu kekar Noto. “Aku ingin kita dan anak-anak bisa hidup abadi. Bisa merasakan kebahagiaan tanpa henti. Kemarin aku menonton film tentang seorang ilmuwan yang hidup abadi. Imortal, Mas. Tidak bisa mati. Kupikir jika kehidupan nyata bisa difilmkan, bukankah berarti kehidupan di film bisa dibuat jadi kenyataan?”
“Tapi, bagaimana caranya?” Noto mendesah.
“Kau bisa cari caranya dari buku-buku, Mas. Dalam film itu, si tokoh yang hidup abadi banyak belajar dari buku-buku. Perpustakaan tidak jauh, ‘kan?”
“Aku akan mencarinya besok.”
Masih ada satu ciuman dahsyat setelah kata-kata itu. Ciuman yang membakar ranjang, selimut, bantal, dan sepasang tubuh suami-istri itu.
Noto jatuh tertidur lebih dulu malam itu. Sementara di sampingnya, sang istri membelai kepala lelaki yang paling dicintainya seperti membelai kepala anak-anaknya. Ia mendekap suaminya sambil terisak.
Perpustakaan daerah adalah perpustakaan terbesar yang bisa Noto jangkau tanpa kendaraan. Ada perpustakaan lebih besar—perpustakaan pusat—namun butuh berjam-jam untuk mencapainya.
Letaknya di pusat ibukota. Namun, Noto tak repot-repot pergi sejauh itu, karena ia pikir perpustakaan daerah juga punya koleksi lumayan lengkap.
Noto pernah pergi ke perpustakaan pusat satu kali saat ia dan istrinya masih sepasang pacar, memotret diri dengan latar belakang deretan buku. Ia dan istrinya berpose senyum dengan kepala saling didekatkan.
Potret itu pernah terpajang di dinding rumah sewaktu awal-awal pernikahan mereka. Seusai mereka berpindah rumah beberapa kali, foto itu tak terlihat lagi di mana rimbanya. Noto dan istrinya juga tak pernah memikirkannya. Apakah foto itu hilang atau terselip di kardus dan lemari. Tiada yang tahu.