Keabadian

CERPEN ERWIN SETIA

Sabtu pagi, perpustakaan daerah sangat sepi. Sepertinya hari-hari lain pun demikian. Perpustakaan tidak pernah seramai mal, pasar, dan bahkan bank-bank konvensional. Selain Noto, hanya ada penjaga dan beberapa anak muda duduk menghadap layar laptop dengan buku-buku berserakan di atas meja.

Noto memeriksa rak-rak dengan santai. Ia memang sedang memburu sesuatu—buku bertema kehidupan abadi—tapi ia tidak sedang buru-buru. Pada menit-menit awal, ia tidak jua menemukan buku incarannya—dengan tema sespesifik bagaimana agar manusia dapat hidup abadi.

Ia cuma menemukan buku-buku tentang alam akhirat yang menceritakan kehidupan nan kekal, tapi tentu bukan itu yang istrinya maksud tadi malam. Buku-buku lain yang banyak ia temukan adalah kiat-kiat meraih kebahagiaan dan kimia kebahagiaan. Bukan pula jenis buku yang sedang ia cari, kendati topiknya sedikit mirip.

Karena perpustakaan sangat luas dan tidak mungkin ia menelusuri seluruh sudutnya atau membuka semua buku satu per satu, Noto beranjak ke meja penjaga. Penjaga itu tampak asyik ketawa-ketiwi menatap gawainya.

“Apa anda tahu letak rak yang menyimpan buku bertema kehidupan yang abadi? Cara agar seorang manusia imortal alias tidak pernah mati. Barangkali anda pernah mendengar semacam itu,” tanya Noto setelah berbasa-basi sebentar.

Penjaga tua meletakkan gawai ke meja di dekatnya, lalu memegang kacamatanya seakan takut benda optik itu meleset. Kerutan-kerutan di dahinya semakin membiak. Ia menatap Noto tanpa senyum, malah cenderung cemberut.

“Saya tidak pernah tahu ada buku semacam itu. Lagi pula, mana ada kehidupan yang abadi di dunia ini? Yang aneh-aneh saja,” ketusnya. Ia memainkan kembali gawainya tanpa peduli Noto masih ada di hadapannya.

Lihat juga...