Keabadian

CERPEN ERWIN SETIA

Melihat sikap acuh tak acuh orang itu, Noto mengurungkan niatnya untuk mengucapkan terima kasih.
Perasaan dongkol Noto terhapuskan saat ia menyelusuri rak fiksi dan menemukan buku yang menarik ingatannya ke masa-masa lampau.

Masa remaja, masa mula-mula mengenal cinta. Ia membaca secuplik novel remaja mengisahkan seorang gadis SMA pengidap kanker rhabdomyosarcoma. Dulu ia menangis ketika membaca novel tersebut. Noto tertawa dalam hati mengingat dirinya pernah secengeng itu.

Namun, yang lebih ia ingat mengenai buku itu adalah peminjamnya. Tiada lain orang yang dulu meminjamkan novel itu kepadanya adalah Gita, cinta pertamanya yang kini menjadi istrinya.

Ia berdiri di rak fiksi tak begitu lama. Noto masih harus mencari buku yang dimaui istrinya. Jam dinding tua yang menempel di dekat pintu masuk sudah berganti angka berkali-kali. Meski telah beranjak siang, perpustakaan masih sama sepinya seperti pagi tadi.

Beberapa pengunjung malahan sudah pulang. Noto telah menyusuri rak demi rak, buku demi buku dengan tabah. Tapi buku tentang kehidupan abadi itu tak juga ditemukannya.

Tanpa terasa, sore tiba dan jam buka perpustakaan sebentar lagi usai. Noto memutuskan pulang sebelum penjaga tua itu mengusirnya. Ia pulang tanpa membawa buku yang istrinya inginkan.

Dalam perjalanan menuju rumah, ia berjumpa anak-anaknya yang sedang berjalan kaki bersama teman-teman mereka sepulang dari sekolah. Anak-anaknya—tepatnya dua orang anaknya (dan tak akan pernah lebih), Ryan kelas 4 SD dan kakak perempuannya Rani yang setahun lebih tua—lantas bersorak dan menghampirinya.

“Ayah, ayo kita cepat pulang ke rumah. Aku lapar. Mau makan masakan ibu,” kata Rani.

Lihat juga...