Keabadian

CERPEN ERWIN SETIA

NOTO lupa telah berapa lama dirinya tidak mengunjungi perpustakaan. Ketika pagi itu ia membuka pintu perpustakaan daerah, menyapa penjaga tua berkacamata dengan kerutan-kerutan di dahi dan menjelajahi rak demi rak, ia merasakan sensasi yang begitu asing, namun nikmat.

Dihirupnya aroma buku yang khas, menimang satu-dua buku seperti bayi, menyibak sampulnya pelan-pelan. Ia memperlakukan buku bagai porselen Cina mahal.

Penuh kehati-hatian seolah khawatir jika sedikit saja melakukan kesalahan, buku itu akan jatuh dan pecah. Tentu saja itu kekhawatiran yang berlebihan.

Sebelum berangkat ke perpustakaan, istri Noto menyiapkan sarapan lezat untuknya dan anak-anaknya. Opor ayam, sayur-sayuran, dan sambal dengan tingkat kepedasan teramat pas di lidah. Anak-anaknya pergi ke sekolah berjalan kaki.

Jarak antara rumah dan sekolah cukup dekat. Sepeninggal anak-anak ke sekolah, Noto dan istrinya tinggal berduaan. Terbersit hasrat untuk mencumbu sang istri di dada Noto.

Terlebih pagi itu istrinya tampak cantik berlipat-lipat—seolah angin pagi dan matahari yang masih kanak-kanak menyalurkan kosmetik gaib ke wajah perempuan itu. Namun ia meredamnya. Semalam mereka baru saja bercinta habis-habisan.

“Mas, kau pernah mendengar tentang kebahagiaan yang abadi?” tanya istrinya tiba-tiba, malam tadi. Tubuh moleknya telah berselimut, kuyup dengan keringat.

Noto tak langsung menjawab. Ia memandang lekat-lekat mata istrinya yang membulat dan cemerlang. Keredupan kamar tak bisa mencegah pesona sepasang bola mata itu.

“Kenapa kau bertanya begitu, Sayang?”

“Karena aku menginginkan kebahagiaan yang abadi.”

“Maksudmu kau ingin malam-malam berikutnya selalu seindah malam ini?”

Lihat juga...