SEJATINYA, praktik korupsi di negeri ini sudah jauh terjadi semenjak era sebelum kemerdekaan. Yaitu adanya pemberian upeti dari pemimpin daerah atau para kepala desa kepada raja-raja yang berkuasa.
Atau dari raja-raja kecil kepada raja-raja besar yang berhasil menaklukkannya. Upeti-upeti ini sejatinya untuk menunjukkan adanya ketaatan antara bawahan kepada pemimpinnya dan untuk memberikan perlindungan dari raja kepada pemimpin di daerah. Baik secara fisik dengan perlindungan hukum maupun non-fisik berupa pengakuan kedaulatan.
Dan lagi-lagi, upeti-upeti tersebut diambilkan dengan menaikkan pajak kepada rakyat jelata yang ujung-ujungnya justru semakin menambah beban hidup rakyat. Bukan membahagiakannya.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, hal ini kemudian dijadikan sebagai alat legitimasi, kebiasaan dan merupakan sesuatu hal yang wajar untuk dilaksanakan. Jika ingin dipermudah masalah birokrasinya baik di tingkat pusat maupun daerah.
Jika tidak dilakukan akan dianggap sebagai suatu hal yang aneh. Dan akhirnya semua praktik korupsi di negeri ini menjadi budaya yang sangat sulit untuk dikurangi bahkan dihilangkan sama sekali, karena sudah menjadi budaya.
Maka pasca-reformasi 1998, dengan ditandai perubahan UUD 1945 secara fundamental, tuntutan membersihkan negara ini dari segala praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) semakin deras.
Munculnya UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seolah menjawab tuntutan rakyat akan adanya lembaga negara baru yang lebih independen dan imparsial dalam memberantas korupsi dibandingkan dengan lembaga lain yang sudah ada seperti kejaksaan dan kepolisian.