Dinamika KPK di Indonesia
KPK didirikan berdasarkan amanat UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Meskipun dalam perekrutannya KPK tetap dipilih melalui DPR yang diusulkan oleh presiden. Sehingga sejatinya KPK tidak bisa lepas dari produk politik di dalamnya.
Sehingga berdasarkan bunyi pasal 30 ini telah menimbulkan kerancuan, di satu sisi KPK harus independen dan bebas dari pengaruh manapun, namun dalam pemilihannya tetap melibatkan lembaga politik. Baik itu legislatif (baca: DPR) maupun eksekutif (baca: Presiden).
Realita ini menyebabkan banyak kasus di KPK yang dianggap oleh publik tebang pilih tergantung pesanan atau back up siapa pejabat atau penguasa di belakangnya. Hal inilah yang menyebabkan KPK tidak bebas nilai.
Meskipun demikian lembaga super bodi ini tetap mendapatkan hati rakyat karena banyak melakukan OTT pejabat negara mulai dari hakim MK, MA hingga kepala daerah. Sesuatu yang sulit dilakukan oleh lembaga hukum lain sebelum adanya KPK.
Akibat keberhasilan tersebut, siapa saja, lembaga mana saja atau bahkan sekaliber presiden pun jika berani mengutak-utik KPK dengan melakukan perubahan UU KPK akan berhadapan dengan rakyat.
KPK akhirnya menjelma sebagai lembaga negara yang tidak tersentuh (untouchable) atau negara dalam negara karena dapat menentukan siapa yang hendak ditangkap atau tidak.
Hal ini berakibat berbagai penyelewengan di KPK seperti molornya penyidikan kasus korupsi pada seseorang yang memakan waktu bertahun-tahun dianggap wajar. Atau bahkan KPK pernah menyidik seseorang yang sudah meninggal dunia akibat tidak validnya data yang masuk di penyidik KPK.