Keris Leluhur

CERPEN S. PRASETYO UTOMO

Di pelataran rumah berdiri membisu Dewi Laksmi, melepas Rara yang bakal pindah selamanya ke Ubud. Berdiri juga lelaki tua juling itu, beberapa tetangga, dan Suman, pemborong perumahan, dengan wajah congkak penuh kemenangan.

“Sopir kami akan mengantar Bapak sampai bandara. Penerbangan ke Ngurah Rai pukul tujuh,” kata Suman dengan nada sombong yang terselubung. “Biar kedua sopir truk kami membawa perabot rumah sampai Ubud.”

Tak bergerak, Widi menahan diri menghadapi sepasang mata Dewi Laksmi yang menghujat. Sepasang mata yang menuduh. Sepasang mata yang menghinakannya. Ia tak ingin meninggalkan bumi kelahiran dan rumah leluhurnya dengan cara serendah ini: dicerca seorang gadis yang sangat dikaguminya. Tetapi ini harus dihadapi.

“Selamat menikmati tinggal di Ubud. Di sana kau dapat mendirikan sanggar tari dan sanggar lukis menghadap sawah bertingkat dan sungai bening. Jangan khawatir, kau akan menemukan karier yang gemilang, istri cantik, dan menikmati ketenangan hidup.”

Sepasang mata Dewi Laksmi seperti memendam bara tungku yang menyala. Dua truk itu berangkat terlebih dulu. Widi masih belum bisa melangkah berpamitan. Kakinya seperti tertancap dalam genangan lumpur liat.

Dia membuka tas. Mengambil keris. Tangannya gemetar. Tubuhnya gemetar. Bibirnya gemetar ketika ia mendekati lelaki tua juling itu dan berpesan, “Keris pusaka ini untukmu. Rawatlah. Aku tak bisa memilikinya lagi. Kau lebih pantas memilikinya. Ini keris yang diwariskan leluhurku untuk menjaga keselamatan hutan. Aku telah gagal memenuhi kewajiban itu.”

Lama lelaki tua juling itu memandangi keris peninggalan leluhur Widi. Ia tak segera menerima keris itu. Lama-kelamaan, seperti ada kekuatan yang menggerakkan kedua tangannya terjulur untuk menyambut keris itu.

Lihat juga...