Keris Leluhur

CERPEN S. PRASETYO UTOMO

Tanpa henti, Widi terus menghentak kendang. Memandang pelataran, pohon waru, kelelawar, dan hamparan tanah datar bekas bukit hutan larangan.

Ia teringat keris pusaka di kamar, keris luk sanga, sembilan lekuk, dengan bertabur pamor gemerlap keperakan yang di ujungnya kemerahan retak setipis rambut, bekas menikam berandal yang bersembunyi di goa bukit hutan larangan.

Ia merasa berkhianat pada leluhur justru setelah Dewi Laksmi yang menggugatnya meninggalkan rumahnya. Ia merasa malu dengan dirinya sendiri.

Kendang itu terus dihentaknya serupa mengiringi tarian topeng hitam. Di pelataran rumah, dalam bayang-bayang purnama, muncul seorang lelaki tua penari topeng hitam. Sendirian. Kaki kanannya pincang.

Gerakan-gerakannya sempurna, terlatih, dan digetarkan dari kedalaman batin. Widi tercengang. Ia terus menghentakkan kendang. Siapakah dia? Lelaki tua dengan kaki kanan mengecil, mata juling, pakaian lusuh, menari topeng hitam, seperti muncul dari rimba masa silam.

Widi mengenali lelaki penari topeng hitam itu. Ia sudah mendengar kisah kenestapaan lelaki tua juling itu. Dialah salah seorang pemilik lahan di bukit hutan larangan. Dialah lelaki yang paling akhir menjual lahannya.

Dia menjual lahan lantaran istrinya sakit. Kini ia hidup sebatang kara. Istrinya meninggal. Ia tinggal seorang diri di rumah kayu lapuk kusam.

Langkah lelaki tua juling itu pelan melewati gang di depan rumah Widi. Hentakan kendang Widi menghentikan langkah lelaki tua bermata juling. Ia sangat mengenal hentakan kendang tarian topeng hitam.

Lelaki tua juling itu memasuki pelataran rumah Widi. Mengikuti irama kendang, ia menari topeng hitam. Tarian selesai. Lelaki tua juling itu masih mengenakan topeng siluman raksasa. Meminta Widi kembali menghentak kendang.

Lihat juga...