Terdengar lolong anjing, dan membuat bulu kuduk Tatang berdiri. Belum genap 5 menit Pak Wanto meninggalkan Tatang sendirian, sepertinya sudah ditinggal satu jam lebih. Detak jantungnya terasa berdenyut cepat.
Terdengar suara getar di lincak, yang membuat Tatang terperanjat, meskipun akhirnya bisa menguasai keadaan, karena suara itu datang dari HP miliknya yang digetar.
“Apa yang adik pikirkan jika sendirian di makam seperti ini?” tanya pak Wanto dari belakang.
Tatang terkejut, dan berdiri menoleh ke belakang. Pak Wanto tersenyum melihat Tatang gugup tiba-tiba mendengar suara dari belakang.
“Sa… sa… saya membayangkan tiba-tiba ada hantu keluar dari salah satu makam,” kata Tatang Gugup.
Pak Wanto tertawa, dan Tatang semakin gugup melihat tawanya. Dia seperti bukan melihat Pak Wanto yang selama ini dia kenal.
Wajahnya pucat, dan matanya masuk ke dalam, sehingga membuat Tatang bergidik.
“Adik merokok?” Pak Wanto menawari.
Tatang mengangguk sambil terus menatap Pak Wanto, seolah tidak mau melepaskan pandangan dari wajah Pak Wanto.
“Boleh saya minta tolong, satu batang rokok diletakkan di atas satu nisan di sebelah utara persis di bawah pohon. Rokok diletakkan di dekat nama yang tertera di nisan. Sebelum meletakkan rokok, korek bisa dinyalakan untuk melihat nama orang yang meninggal,” pinta Tatang sambil terus menatap wajah Pak Wanto.
Pak Wanto mengangguk sambil melangkah mendekati nisan, dan menyalakan korek untuk membaca nama yang tertera di batu nisan.
“Tatang…” Pak Wanto bergumam sambil menoleh ke arah Tatang.
Pak Wanto terkejut, karena tak ada siapa pun di lincak. Tubuhnya gemetar, korek dan rokoknya jatuh di tanah. Ia hanya bisa diam, tak ada suara keluar dari mulutnya. Celananya basah, rupanya dalam ketakutannya Pak Wanto sampai kencing di celana.