Tapi siapa anak muda itu, Pak Wanto tidak terlalu paham. Selain jarak usianya cukup jauh, wajahnya seperti belum lama menetap di kampung di mana Pak Wanto tinggal.
Tetapi, anak muda itu kenal dengan warga kampung dan sering berbincang dengan warga kampung dari berbagai usia, termasuk anak muda seusianya.
“Adik ini sudah lama ya tinggal di kampung ini, rasanya wajah adik terlalu asing untukku,” kata Pak Wanto kepada anak muda itu, yang kebetulan sedang duduk bersama di lincak di tengah makam.
“Saya tinggal di kampung sebelah pak. Di sebelah timur jalan raya. Nama saya Tatang. Saya teman akrab Sulis,” jawabnya.
“O, pantesan, dalam keseharian saya jarang melihat adik,” balas Pak Wanto.
“Tidak seperti warga kampung di sini, yang tidak pernah duduk di tengah makam malam hari, katanya takut hantu. Adik malam malam-malan mengajak ngobrol saya di tengah makam,” Pak Wanto mencoba menyelidik.
“Memang Pak Wanto pernah melihat hantu, selama menjadi juru kunci makam dan sering duduk di lincak malam hari di tengah makam ini,” Tatang balik bertanya.
Pak Wanto tidak menjawab. Hanya tersenyum sambil menatap wajah Tatang, yang serius membutuhkan jawaban.
“Adik percaya hantu?” tanya Pak Wanto.
Tatang gelagapan. Tidak mengerti harus menjawab apa. Hanya saja, kalau sendirian di tengah makam, seringkali bulu kuduknya berdiri. Tetapi ketika duduk ngobrol bersama Pak Wanto, sama sekali tidak memiliki rasa takut.
“Nggak tahu pak, hanya saja kalau saya sendirian di makam, bahkan hanya lewat saja, bulu kuduk saya sering berdiri,” jawab Tatang.
Pak Wanto manggut-manggut dan pamit sebentar masuk rumah mengambil rokok, sebab rokoknya tinggal satu batang. Tatang ditinggal sendirian di lincak. Malam sepi, udara dingin, perasaan takut mendesir.