Tiap melihat ada yang turun, baik berombongan maupun sendirian, Goris seolah dibawa ke dalam kenangan tentang banyak kehilangan yang terjadi dalam hidupnya.
Terutama sekali pada sebuah sore saat ia melihat gadis kecil bermain lompat tali untuk terakhir kali. Setelah itu mereka tak pernah bertemu lagi. Seperti biasa, perasaan haru memenuhi dada Goris.
Dengan cepat rasa kehilangan menguasainya dan ia bergumam begitu saja, “Oh, Tanalia.” Dan matanya dengan mudah mengeluarkan air mata.
Pengumuman tanda kereta akan segera tiba di stasiun perhentian berikutnya kembali terdengar dan mengejutkan Goris yang tengah berduka.
Ia lekas mengeringkan air di sudut mata dengan jemarinya, menegakkan punggung, dan bersiap melepas kepergian orang-orang yang akan turun dari dalam gerbong seperti yang ia lakukan selama ini.
Ia menarik napas panjang. Ia memejam sesaat, lalu membuka matanya lebar-lebar. Pandangannya fokus pada pintu kereta. Dua orang turun, satu orang, dua orang lagi, satu orang lagi…
Dan Goris yang hampir mengalihkan matanya karena ia berpikir tak ada lagi penumpang yang akan turun, mendadak terpaku, sekian detik kemudian ikut turun sebelum pintu kereta kembali menutup.
“Tanalia,” gumam Goris masih takjub memandangi serombongan kupu-kupu di kepala seorang perempuan yang berjalan terburu sejak turun dari pintu kereta.
***
“TANALIA,” gumam Goris sekali lagi. Perempuan itu berjalan di antara orang-orang yang umumnya baru pulang dari tempat kerja. Orang-orang berwajah lelah dan bau debu kota di malam hari.
Orang-orang yang akan menghilang entah ke mana, tapi Goris enggan memikirkannya untuk kali ini.