Gadis kecil itu hilang. Hilang begitu saja. Ia tidak pulang ke rumahnya pada sore itu. Ia tak pernah pulang berhari-hari setelahnya. Goris tidak tahu apa yang gadis kecil itu lakukan seusai bermain lompat tali.
Apa ia pergi ke rawa dan tenggelam di sana? Di rawa itu banyak kupu-kupu. Mana tahu ia mencari serangga itu ke sana. Namun, kata teman-temannya, gadis kecil itu tidak ke mana-mana. Mereka sangat yakin melihat gadis kecil itu pulang ke rumah.
Mereka bahkan menyaksikan sendiri ia membuka pintu rumah dan menutupnya, tak ada yang melihatnya keluar lagi dari sana.
Kepergian yang sungguh tidak disangka-sangka itu, membuat Goris berhari-hari memandang ke tempat gadis kecil itu main lompat tali. Goris memutar ulang—sampai berkali-kali—adegan gadis kecil itu melompat di udara dengan serombongan kupu-kupu di kepalanya.
Seolah-olah ia masih bermain bersama teman-temannya. Seolah-olah Goris masih memandangnya tanpa gadis kecil itu pernah tahu.
Setelah kepergian anak tetangga itulah, Goris mulai senang mengamati segala sesuatu yang menghilang. Sekecil apa pun itu.
***
LIMA belas tahun sesudah kejadian itu, di usia yang ke-32 tahun, Goris telah mengamati banyak sekali kehilangan. Ia kehilangan seluruh teman SMA setelah mereka lulus dan ia kuliah di kota lain.
Selama berbulan-bulan ia mencatat dengan cermat siapa yang paling pertama tak lagi saling berkabar dengannya dan siapa yang menyusul kemudian dan kemudian lagi. Hingga tak tersisa satu pun, tapi ia puas karena mengikuti semua proses alamiah itu dengan baik.
Hingga mereka hanya tertinggal dalam ingatannya saja; jari kakaknya terpotong saat membuat kerajinan kayu, dan waktu itu Goris sedang libur semester. Ia menemukan potongan jari kelingking kakaknya itu di antara perkakas kerjanya.