TLOGOWUNGU geger. Rumah Demang Suralaga hancur berantakan seperti usai disapu angin badai semalam. Bangunannya hampir rubuh. Potongan-potongan tubuh manusia berserak di halaman.
***
RAUT muka Demang Suralaga memucat ketika telinganya mendengar suara lolongan panjang memecah kesunyian. Kerbau-kerbau di kandang terdengar melenguh bersahutan.
Kuda-kuda miliknya terus meringkik meski sudah ditenangkan. Dengan nafas sedikit tersengal, seorang pengawal datang dari arah pendapa.
“Ndoro (Tuan)… ” kata pengawal itu dari ambang pintu.
“Aku mendengarnya. Cepat kau panggil Jalu dan Lamin. Minta semua orang menyalakan obor. Buatlah penerangan di semua sudut dan buat api lebih besar di halaman. Cepat!” katanya setengah berteriak.
Suralaga bangkit dari tempat duduk. Ia terdengar memanggil-manggil nama seorang perempuan, tetapi tidak ada sahut jawaban. Lolongan itu terdengar kembali dari kejauhan.
Kecemasan semakin terlihat menggurat di raut wajahnya. Dengan setengah berlari, ia menuju kamar. Perempuan yang ia cari tidak ada di sana. Kakinya menuju sebuah almari di pojok ruangan, mengambil sebilah keris dari sana. Matanya menatap lekat senjata itu.
Dalam hati ia berkata, tidak mungkin ucapan orang tua itu jadi kenyataan. Kutukan yang diucapkan oleh seorang resi yang ia bunuh hampir sebulan yang lalu, ketika dirinya mengambil paksa sebuah pusaka dari sebuah pertapan.
Jeritan seorang perempuan terdengar dari bagian belakang rumahnya menghentikan lamunan Suralaga. Wajahnya semakin memucat. Keringat mengalir dari dahinya.
“Jalu! Lamin!” dengan suara bergetar ia terus memanggil nama kedua tukang pukul andalannya itu.