Perlindungan Hak Pekerja di Era Ekonomi Digital
OLEH NURUS S. MUFIDAH
Tentu, ini mempengaruhi pendapatan bulanan para pekerja. Sementara pada pekerja tradisional memiliki perlindungan terkait upah minimum yang merupakan bagian dari jaring pengaman sosial. Berdasarkan hubungan kerja yang bersifat kemitraan, perlindungan upah minimum ini menjadi tidak berlaku bagi pekerja ojek online.
Pekerja dianggap independen sehingga harus mematuhi segala aturan yang dibuat termasuk dalam hal ini terkait tarif. Hubungan kerja “kemitraan” antara penyedia aplikasi dan sopir sangat tidak setara.
Pun demikian ketika mengalami pemutusan hubungan kerja sepihak. Para sopir ini tidak mempunyai mekanisme yang bisa ditempuh seperti umumnya pekerja tradisional yang dapat menempuh mekanisme hukum melalui pengadilan hubungan industrial (PHI).
Pekerja juga tidak bisa meminta bantuan serikat pekerja pada saat mengalami permasalahan dalam hubungan kerjanya. Dengan status sebagai “mitra” membuat mereka tidak bisa bergabung dalam serikat pekerja layaknya pekerja lainnya.
Padahal, berdasarkan hukum ketenagakerjaan pekerja berhak bergabung dalam serikat pekerja. Sehingga dalam menghadapi pihak penyedia jasa aplikasi, pekerja ojek online hanya membuat aliansi-aliansi yang sangat berbeda dengan serikat pekerja yang dilindungi oleh undang-undang.
Hubungan kerja yang rentan akibat dari kemajuan di bidang tehnologi ini harusnya juga menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan untuk memberikan aturan yang memuat perlindungan hak-hak pekerja ekonomi digital.
Penting rasanya bagi pemerintah untuk membuat aturan-aturan ketenagakerjaan yang sesuai kebutuhan di era ekonomi digital demi mewujudkan kerangka kerja layak (decent work), sesuai dengan standar dan norma ketenagakerjaan nasional dan internasional.