Ahli: Kewenangan Penyidik OJK Timbulkan Ketidakpastian Hukum

Editor: Makmun Hidayat

Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ratno Lukito memberikan keterangan sebagai ahli pada sidang uji materil UU OJK di MK - Foto: M. Hajoran Pulungan

JAKARTA — Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ratno Lukito, menyebutkan aturan kewenangan penyidikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dinilai tidak memberikan kepastian hukum. Sebab model OJK seperti di Indonesia tidaklah lazim, menyatukan kewenangan pengawasan administratif dengan kewenangan penyidikan yang bersifat pro justicia.

“Di negara-negara lain, pengawas keuangan tidak mencampur dua kewenangan ini. Kewenangan penyidikan diserahkan pada penegak hukum reguler atau lembaga khusus yang memiliki kewenangan penyidikan,” kata Ratno Lukito saat sidang uji materil UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan di Ruang Sidang MK, Jakarta, Senin (18/2/2019).

Di sisi lain, lanjutnya, model OJK di Indonesia berpotensi menimbulkan tumpang-tindih (overlapping) OJK dengan lembaga penegak hukum seperti Polri. “Hal ini disebabkan adanya pencampuran kewenangan pengawasan administratif dengan kewenangan penyidikan yang bersifat pro justicia,” ujarnya.

Sementara itu Guru Besar Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Nindyo Pramono, juga mengatakan aturan kewenangan penyidikan oleh OJK dinilai tidak memberikan kepastian hukum. Beberapa alasan aturan kewenangan penyidikan menimbulkan ketidakpastian hukum, di antaranya kewenangan penyidikan OJK dilakukan penyidik Polri atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) mengikuti Pasal 6 KUHAP.

“Hal ini justru akan memicu perebutan perkara antara penyidik Polri dan PPNS di OJK. Dalam konteks kewenangan, penyidik OJK yang bisa melakukan penyidikan terkait fungsinya sebagai pengawas perbankan dan non perbankan,” sebutnya.

Lihat juga...