Ahli: Kewenangan Penyidik OJK Timbulkan Ketidakpastian Hukum
Editor: Makmun Hidayat
Nindyo menilai kewenangan penyidikan oleh OJK aneh. Ia menyebut meski lembaga tersebut punya kewenangan tersebut, namun pegawainya tidak memiliki kewenangan penyidikan. Hal ini tidak sesuai dengan sistem hukum pidana yang terintegrasi.
“Fungsi kewenangan OJK seharusnya berada dalam ranah hukum administrasi negara pada proses pemeriksaan dan penyelidikan. Kita dapat mencontoh dari kewenangan Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU) yang diputus perkaranya oleh MK di tahun 2016,” jelasnya.
Selain itu, Nindyo pun mencontohkan lembaga sejenis OJK di negara lain yang tidak memiliki kewenangan berupa penyidikan. Ia menilai aneh jika OJK di Indonesia memiliki kewenangan tersebut.
“Di Inggris, ada Financial Service Authority (OJK Inggris) yang memiliki kewenangan penyidikan. Namun karena tak berjalan efektif akhirnya diberikan kembali ke Bank of England,” ungkapnya.
Dalam permohonan sebelumnya, Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 49 ayat (3) UU OJK.
Pemohon mendalilkan dalam menjalankan wewenangnya, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP.
Namun menurut Pemohon, wewenang penyidikan yang diberikan UU OJK kepada PPNS OJK, sama sekali tidak ada ketentuan norma yang secara eksplisit menyatakan: “Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang hukum acara pidana”, atau setidak-tidaknya menyatakan: “Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil berkoordinasi dengan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia”.