Kematian Kameswara

CERPEN ARIAN PANGESTU

“Jurus pedang membelah rembulan,” katanya dalam hati. “Ternyata inilah siasat busukmu istriku setelah kuajarkan segala kesaktianku padamu.”

“Jangan katakan sesuatu yang tak sudi aku mendengarkan. Aku tak pernah menganggapmu sebagai suami. Terimalah jurusmu sendiri.”

Pertarungan sengit pun tak dapat dihindarkan. Percikan pedang yang beradu bagai nyala kembang api di kegelapan malam. Pertarungan yang sebenarnya tak seimbang. Diyah Pitaloka penuh nafsu ingin menghunjamkan pedang ke tubuh Kameswara. Sebaliknya, Kameswara hanya bertahan dan menghindar.

Merasa kehabisan tenaga, jurus pamungkas pedang membelah rembulan pun dikeluarkan Diyah Pitaloka. Melihat jurus itu, Kameswara kaget bukan kepalang. “Tunggu,” kata Kameswara.

“Nyawa harus dibayar dengan nyawa.”

“Apa salahku? Aku tak mau melukai istriku sendiri.”

“Begitupun sebagai seorang anak tak rela ayahnya mati di depan matanya sendiri.”

Tertegunlah hati Kameswara. Teringat pertarungannya sewindu silam saat mengalahkan Randu Ijo. Pada saat itu Kameswara bukan hanya berhasil menjadi menantu seorang raja, melainkan mengangkat dirinya sendiri sebagai seorang raja setelah berhasil membunuh ayah Diyah Pitaloka.

Tiba-tiba dengan satu gerakan cepat seperti laju cahaya pedang telah menembus tubuh Kameswara, sebelum jatuh tersungkur Kameswara tersenyum sambil berujar, “Jagalah baik-baik anak dalam kandunganmu, istriku. Ceritakan padanya kelak bahwa ayahnya meninggal bukan oleh ujung pedang istrinya, melainkan terbunuh oleh kecantikannya.”

Setelah Kameswara roboh ke tanah, Diyah Pitaloka menangis mengiringi kematiannya. ***

Arian Pangestu, aktif di sekolah feminisme dan pemikiran sosial. Alumni Sastra Universitas Pamulang. Artikelnya dimuat di beberapa media massa, baik cetak maupun internet.

Lihat juga...