Di Bawah Atap, Dalam Kamar Kecil

CERPEN SETO PERMADA

“Kalau berniat tinggal di sini, dia akan jadi bagian dari suku kita.”

Aku gamang di hadapan pertanyaan seperti itu. Sepertinya, orang-orang ini memang kuat. Kalau aku lari, bisa saja dikejar dan dijadikan sate. Akhirnya, aku mengangguk.

“Mulai sekarang, kau aku panggil dengan nama Bero. Setiap hari kau harus ikut berburu, mengumpulkan batu, menyadap kulit kayu pinus, menombak ikan, dan bergulat dengan binatang buas. Tapi, hanyutkan pakaianmu lebih dulu. Pakaian itu bukan bagian dari kami.”

“Oma, apa saja pantangan yang harus kuhindari?” aku agak gemetar.

“Itu dulu. Sekarang sudah waktunya tidur.”

Wanita itu melepaskan tangan dari telinga Pero. Dengan langkah berat, dia menjauhi kami. Ketika berdiri di hadapan lubang tong berukuran 2 kali lipat dari tong-tong lain, dia merayap dengan susah payah.

Aku dan Pero saling bertatapan agak lama. Kami saling berkenalan dengan cara saling memandang.

“Kenapa hanya rumahmu yang ada di pinggir sungai tadi? Yang lain tidak kelihatan.”

“Itu rahasia. Aku mau tidur.”

Dia merayap ke dalam tong tanpa mengajakku masuk. Aku hanya berdiri mematung, lalu tidur telentang di atas tanah seraya memandang bulan yang lepas dari sergapan awan. Sekarang atapku langit. Sedangkan kamar kecilku adalah nasib. Angin malam meniup setiap pori-pori kulitku.

Apa seperti ini rasanya punya keluarga? ***

Purworejo, 15 Agustus 2018

Seto Permada, lahir 12 Oktober 1994 di Purworejo. Beberapa cerpennya pernah dimuat media lokal maupun nasional. Sehari-harinya, ia bekerja sebagai penulis lepas. Adapun yang masuk antologi, salah satunya bisa ditemukan lewat buku Seutas Tali & Segelas Anggur (LITERA, 2017).

Lihat juga...