Di Bawah Atap, Dalam Kamar Kecil

CERPEN SETO PERMADA

SETELAH kabur dari kota, aku berencana membangun kamar kecil di pinggir sungai yang alirannya cukup deras. Dekat dengan air payau dan hutan. Di sini, harta karun menumpuk secara natural tanpa harus digali.

Ada kaleng minuman, kardus, botol mineral, remukan barang elektronik, dan yang paling aku suka: tong besar nyaring bunyinya. Letaknya di atas kerikil dan bergoyang-goyang, nyaris terbawa arus. Di dalam situ aku berencana tinggal selama 3 hari sebelum pindah lagi ke tepi sungai lain.

Bau kawasan ini sangat menyegarkan. Ada perpaduan antara kencing manusia, anjing, dan bau karat besi-besi tua yang serba pesing. Jauh lebih baik daripada bau makanan cepat saji ala kota yang tampaknya lezat, tetapi menipu.

Seringkali, saat aku melintasi restoran dan meneteskan liur di depan etalase, mereka mengusirku. Menyebutku gila, bodoh, tak tahu aturan, dan anjing buduk. Daripada hidup di kota dan terus diasingkan, aku berencana membuat program hidup yang lebih baik dari satu tepi sungai ke tepi sungai lain.

Dan aku bukan anjing buduk.

Untuk membuat sebuah kamar kecil yang menyenangkan, perlu usaha keras. Tidak instan. Mula-mula, kugelindingkan tong kosong besar itu dari tepi sungai yang berkerikil ke area bertanah dan menyandarkannya ke pohon mahoni.

Aku memilih pohon mahoni karena rimbun daunnya. Enak dipandang. Daripada pohon pinus yang tampak kurus seperti orang kelaparan.

Lalu, aku mencari ranting dan dahan kayu dengan cara merasuki hutan sedalam-dalamnya. Kalau tidak menemukan ranting yang bagus, kupanjat pohon dan mematahkan beberapa di atas sana. Api unggun yang bagus harus dibuat dari bahan-bahan berkualitas.

Lihat juga...