Durasi pembuatan kamar kecilku berlangsung seharian penuh. Tempat ini lebih dari cukup buatku. Ada kamar kecil. Ada ranting. Ada daun. Ada ikan-ikan di sungai. Ada batu. Lengkap. Tidak kalah dari apartemen-apartemen di Sudirman Park.
Hari pertama aku tidak makan. Malam pertama aku tidak menyalakan api unggun. Badan terlalu capai untuk menyalakan api unggun dengan batu atau gogoh di kedalaman sungai demi ikan-ikan segar.
Di bawah sinar rembulan yang redup, aku merayap memasuki tong yang sudah menjelma sebagai kamar kecil. Sungguh beruntung bisa mendapatkan tong sebesar ini. Tanpa harus bikin atap, langsung bisa ditinggali. Untuk sirkulasi udara, aku membiarkan lubang tempat masuk itu terbuka. Sekaligus biar bisa mendengar suara gemericik air sungai dari kedalaman sini.
Pernahkah dirimu tinggal dan tidur di dalam tong besar? Kalau ditotal, tong ini bisa memuat 2 anak tanggung sepertiku. Di dalam sini, aku bisa mendengar desah napasku sendiri. Nyaring. Menggema. Kalau aku berteriak “A”, maka memantul bunyi “A-A-A-A” dengan jeda masing-masing 1 detik.
Seperti punya saudara kembar tanpa harus mewujudkan diri jadi manusia. Lebih enak daripada rumah kardus yang kutinggali di tepi jalanan kota, yang kerapkali ambruk diseruduk anak-anak kecil.
Suara nyamuk-nyamuk tidak kalah nyaring. Kadang-kadang mereka hinggap di wajahku. Kadang-kadang di lengan, telinga, betis, juga telapak kaki. Ketika didiamkan, rasanya seperti ditusuk-tusuk anak kecil pakai jarum saat aku masih sering tidur di pinggir jalan. Dan memang setiap kali mata terpejam, aku merasa ada yang merambati permukaan kulit. Entah apa.