“Apa yang kau lakukan dengan rumahku?” seorang anak tanggung tiba-tiba menepuk bahuku dari belakang.
Dari segi wajah, dia lebih parah dariku. Dari dahi sampai dagu penuh bilur-bilur yang mengering. Rambutnya awut-awutan, bertelanjang dada, dan mengenakan celana dari kulit kayu. Sama seperti orang-orang di sana yang mulai merangkak masuk ke tong.
“Kau mau merampok rumahku, ya?” ulangnya.
“Rumah yang mana?”
Dia menunjuk tong yang tadi kumasuki. “Ini tong hadiah ulang tahun dari Oma. Kalau kau mau tidur, tidur saja di atas pohon! Kami sudah ada di sini selama puluhan tahun. Seharusnya kau izin dulu kalau mau tidur denganku. Awas kau. Kuadukan ke Oma.”
Lantas, anak tanggung itu berlari menjauhiku. Dari kejauhan, dia tampaknya memang mengadu ke 2 wanita gemuk dan penuh minyak itu. Alih-alih, telinga anak itu justru dijewer.
Salah satu wanita itu menggiringnya menuju ke arahku dengan tangan masih menjewer telinga. Semakin dekat, semakin jelas wajah dan postur tubuh si gemuk. Dia mengenakan kain kulit kayu lebar tanpa jahitan dan berbau keringat yang khas.
“Kau dari mana?” wanita itu memandangiku dengan sorot mata yang tajam, tapi aku merasa ada keteduhan di bagian wajah lain.
“Aku dari kota.”
“Mau apa anak kota ke mari? Di sini tempatnya orang-orang kuat dan bukan anak manja seperti anak ini.”
“Aku ingin tinggal di sini, Bu.”
“Bu? Panggilanku Oma di sini.”
“Ya, Oma.”
“Tujuan kau tinggal di sini berapa lama? Kalau hanya 2-3 hari, lebih baik enyah! Tapi kalau ingin bergabung dengan kami selamanya, itu urusan yang berbeda. Pero akan berbagi rumah denganmu.”
“Tapi, Oma. Dia dari kota,” sela anak tanggung agak cemas dengan telinga masih dijewer.”