Di Bawah Atap, Dalam Kamar Kecil

CERPEN SETO PERMADA

Aku tidak tahu sekarang jam berapa. Kamar ini serba-gelap. Angin meniup sekujur tubuhku, melewati lubang kamar tanpa permisi. Mau tidak mau, aku pun menggigil dan gigiku gemeretak. Semakin malam, tong ini semakin dingin saja.

Aku yang hanya pakai celana kolor dan kaus oblong, tidak bisa berbuat banyak, kecuali menunggu kantuk hebat menyerangku.

Lamat-lamat, aku menangkap suara pawai. Tak mungkin kalau di hutan ini ada pawai. Namun semakin dugaan itu kuenyahkan, justru semakin merambati telinga. Suaranya berasal dari lubang kamar. Mungkin dibawa angin malam. Saat kutajamkan pendengaran, suaranya bertambah. Mulai tertangkap tawa anak kecil, teriak-teriak menyebut “Ho” atau “Hu” atau “Heyo”.

Rangkaian suara itu dipungkasi dengan jeritan wanita tua seperti meratapi nasib. Kalau diingat-ingat, jeritan itu mirip Bibi Noracus dalam film yang—lupa judulnya—mengisahkan tentang penguburan gugurnya orang-orang Spartan.

Film itu kutonton di alun-alun kota, sebelum akhirnya diusir oleh pengawas lingkungan. Katanya, para penonton harus steril dari gelandangan.

Karena tidak tahan, aku pun keluar dari kamar dengan cara merayap dan mendahulukan bagian kaki. Di luar, suara orang-orang tadi semakin keras, kendati bulan tenggelam termakan awan.

Rupanya mereka sama sepertiku. Jumlahnya sekitar 50 orang. Masing-masing menggelindingkan tong besar dan menyandarkannya ke pohon mahoni. Rata-rata jauh lebih tua dan berjenggot. Pandangan mata mereka berkilat-kilat oleh obor yang dinyalakan sepanjang bantaran sungai.

Hanya ada 2 wanita gemuk dan penuh minyak di wajah. Mereka berdua menjerit persis dengan suara yang kudengar saat masih tiduran dalam tong. Aku terpukau.

Lihat juga...