Kalung Peluru

CERPEN SENGAT IBRAHIM

Sejak cerita Ibu ada yang sengaja mengakiri, bukan hanya tidur malam yang aku takutkan. Dalam tidur-tidur yang lain demikian. Bahkan dalam keadaan di luar tidur, dunia yang mengerikan itu mencul di hadapanku. Sesuatu yang mengerikan itu semakin dekat dengan mata, telinga begitupun fikiran. Aku tidak bisa keluar, tidak bisa mengelak.

Peluru itu yang aku namai kalung peluru. Kalung peluru yang aku anggap sebagai ibu kedua dalam perjalan hidup yang juga kedua. Aku menjadikan peluru sebagai kalung, bukan diniatkan seperti yang dianjurkan oleh petuah-petuah sesepuh Desa Nung Gundil Sari; kalau peluru dijadikan sebagai azimat diyakini akan memberikan kekebalan tubuh, bila sanak keluarga dari sang korban yang memakai.

Aku dan zaman sudah selesai menghapus kebenaran mitos-mitos demikian. Juga bukan karena aku sudah menjadi pengarang cerita. Pengarang cerita, pikiran yang dikedepankan bukan penampilan. Jelas kedua hal tersebut tidak punya sangkut-paut dengan pertanyaan; kenapa di leherku ada kalung peluru?
***
DI ulang tahunku yang ke 30 sekarang. Kepada Ibu, tiba-tiba hatiku menyimpan perasaan-perasaan liar menuntut bertemu. Malam menjadi remang akibat hujan deras dibarengi angin liung, sudah menjadi kebiasaan di Desa Nung Gundil Sari, orang yang bertugas di PLN langsung memadamkan lampu. Lebih cepat dari kilat, lebih cepat dari kedip mata. Dalam suasana demikian, ingatan dalam pikiran melemparku pada masa lalu.

Pada malam di manana Ibu harus takluk pada peluru. Malam itu dua manusia menerima sakit; aku & Ibu. Aku jadikan peluru itu sebagai kalung supaya tahu: Siapa di antara kami yang benar-benar menerima luka paling sakit, paling panjang, paling dalam, aku atau Ibu? ***

Lihat juga...