SELAIN Tuhan dan pakaian, kalung peluru termasuk barang langka aku lepaskan dari badan. Seingatku, sejak pertama kalung peluru melingkar di leher hanya tiga kali lepas. Itu pun bukan disengaja sebab benang pengikatnya putus termakan usia. Selama itu pula tidak ada yang tahu kalau kalung peluru adalah harta paling berharga yang kupunya.
“Kalung peluru sangat dekat denganku melebihi kedekatanku dengan Ibu kandungku. Sejak kedekatan itu kalung peluru kujadikan sebagai ibu baru.”
Ibu asliku dulu, sebelum aku tidur punya kebiasaan bercerita tentang Bapak yang sudah meninggal. Kalau tak keliru semasih aku berumur tiga bulan dalam kandungan. Pantas, jika aku tidak pernah merindukan Bapak meskipun dalam cerita yang aku karang sekalipun. Sesering mungkin kalau bisa Ibu selalu bercerita padaku.
Sebelum tidur siang, tidur sore, tidur malam bahkan saat sebelum tidur menjelang pagi kalau sekolah libur, Ibu tidak pernah lupa untuk selalu bercerita. Bercerita mengenai segala hal yang hanya berkaitan dengan Bapak.
Mulai saat kenal pertama hingga jatuh cinta. Lalu bla bla bla…
Kalau mendengar cerita dari Ibu sebelum tidur malam, tidurku pasti tak bakal nyenyak. Andai dalam tubuhku tidak mengalir darah janda itu, pasti sedari dulu sudah aku penggal lehernya.
Bagaimana tidak! Seolah Tuhan sengaja menukar jiwaku dan Ibu. Kalau Aku tidak mendengar ceritanya, dia menangis sendu seperti tangis anak kecil saat meminta sesuatu dan kedua orang tuanya tidak mampu membelikan.
Aku yang baru masuk sekolah SD waktu itu, berkelakuan semacam orang dewasa. Hampir setiap waktu aku menasehati Ibu karna sering marah-marah tanpa alasan. Atau melakukan sesuatu yang tidak elok orang dewasa pandang. “Jika mau tahu lebih silahkan imajenasikan sendiri sesuai kemampuan anda sebagai pembaca menginkannya seperti apa, tentang kelakuan Ibu yang malas aku deskripsikan itu!”