Menyoal Impor Dosen
OLEH MUHAMAD KARIM
Apakah situasi sekarang ini sama dengan tahun 1960-an? Pastinya tidak karena Indonesia bukan lagi negara miskin SDM dosen berkualitas. Maka, model ketergantungan semacam ini mencerminkan bentuk baru kolonialisme dan neoliberalisme pendidikan tinggi.
Bukankah model ketergantungan ini jika dibarengi perilaku birokrasi bermental pemburu rente dan koruptif bakal menjustifikasi kegagalan pemerintah (government failure) dalam mengelola pendidikan tinggi hingga mengabaikan aturan-aturan yang berlaku di Indonesia?
Apa yang Semestinya?
Mengimpor dosen asing untuk mengatasi problem ketertinggalan pendidikan tinggi di Indonesia bukan solusi yang bernas dan cerdas. Pemerintah mestinya, pertama, membenahi tata kelola pendidikan tinggi yang masih dibebani aturan rumit dan bertele-tele.
Contohnya, perlunya meninjau ulang PP soal Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi No 4/2014). Imbasnya, dosen dapat memikirkan riset berkualitas ketimbang sibuk dengan urusan beban administrasi yang menguras energi dan menyita waktu.
Barangkali memang kita senang dengan idiom kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah? Contohnya, kasus akreditasi yang berbasis dokumen administrasi.
Mengapa Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) di era industri 4.0 ini tak menyediakan instrumen akreditasi berbasis informasi teknologi (IT) sehingga tidak perlu mengumpulkan tumpukan dokumen buat akreditasi PT dan program studi?
Kedua, menata ulang skema-skema hibah riset yang disediakan Kemenristek Dikti sehingga memberi ruang bagi dosen untuk berpikir lebih komprehensif dan tajam.