Menyoal Impor Dosen
OLEH MUHAMAD KARIM
WACANA pemerintah hendak mengimpor dosen asing untuk mengajar di perguruan tinggi di Indonesia mesti dipikirkan ulang.
Pasalnya, dosen impor yang didatangkan dari negara maju berpotensi melahirkan masalah baru yang lebih kompleks. Timbul pertanyaan, apakah gaji dosen impor sama dengan dosen dalam negeri? Apakah mereka juga bakal mengikuti mekanisme perdosenan yang rumit di Indonesia?
Terkait soal kepangkatan, kewajiban riset dan pengabdian, menulis jurnal/buku hingga sertifikasi. Bukankah kehadiran mereka menimbulkan ketergantungan baru dalam bidang pendidikan tinggi? Lantas, kenapa pemerintah tak menyelesaikan dulu problem pendidikan tinggi yang kerap mendapatkan beragam kritik dari kalangan akademisi?
Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab secara obyektif dan komprehensif. Bukan tiba-tiba mau impor dosen. Jika argumentasi pemerintah mengimpor dosen asing buat memperbaiki kualitas akademik dan penelitian, maka patut dikritisi. Sebab berpotensi menyalahi Undang-Undang (UU) Guru dan Dosen No 14/2005 dan Peraturan Pemerintah (PP) No 37/2009 tentang dosen.
Sebab, keduanya, mengatur dosen warga negara Indonesia (WNI) bukan asing. Bukankah pemerintah lebih baik membenahi dulu tata kelola, infrastruktur perguruan tinggi dan meningkatkan kualitas dosen di negeri ini ketimbang mengimpor dari luar negeri?
Ketergantungan
Jika merujuk konstitusi UUD 1945, maka salah satu tujuan negara di alinea keempat yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Lalu pasal 27 ayat (2) berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Lalu, pasal 31 Ayat (3) berbunyi “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.