Menyoal Impor Dosen

OLEH MUHAMAD KARIM

Muhamad Karim. Foto: Dokumentasi Pribadi

Alokasi ini di dalamnya termasuk buat pendidikan tinggi. Jadi, kebijakan mau mengimpor dosen dari negara-negara maju bukan saja bermasalah dengan amanat konstitusi. Melainkan juga berpotensi menimbulkan negara ini mengalami ketergantungan baru.

Pertama, ketergantungan terhadap sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Bila pemerintah berasumsi bahwa dosen impor bakal mendongkrak kualitas akademik dan riset perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia, sama halnya menganggap dosen-dosen dalam negeri ini tidak bermutu sama sekali.

Pemerintah telah menghidupkan mentalitas inlander dalam dunia pendidikan tinggi dan menyalahi integritas kebijakan.

Kedua, ketergantungan modal/pembiayaan. Problem baru yang muncul ialah dari mana sumber anggaran negara untuk menggaji, menfasilitasi kehidupannya hingga membiayai risetnya yang diasumsikan bermutu itu?

Penulis khawatir juga, jangan sampai anggaran biaya dosen asing bersumber dari utang luar negeri yang notabene dari negaranya. Jika ini yang terjadi, maka bukan hanya menimbulkan ketidakadilan dan alienasi dosen dalam negeri, melainkan juga menambah utang baru. Ujung-ujungnya rakyat lagi yang menanggungnya dari pajak dan retribusi.

Ketiga, ketergantungan teknologi riset. Ketergantungan ini juga terkait dengan SDM dan anggarannya. Amat mustahil dosen asing dari negara maju mau menggratiskan teknologi riset yang terbaru untuk digunakan di Indonesia. Praktis akan menyedot APBN dan membebani negara dalam bentuk utang.

Semua ketergantungan ini persis sama dengan situasi tahun 1960-an. Tatkala pendidikan tinggi di negeri ini masih defisit dosen sehingga mesti menggunakan dosen-dosen asing. Soal waktu itu, jumlah dosen kita masih kurang dan belum memenuhi standar yang dibutuhkan.

Lihat juga...