Suara-suara Angin

CERPEN ADI ZAMZAM

Rambu Hollida terus memacu, terus memacu, seolah ingin menguras habis sesak yang memenuhi dadanya sendiri.

“Karena kelunakan hati baptua-mu itulah banyak para ata yang kemudian melonjak dan tak menghormati kaum maramba (bangsawan) lagi. Baptua pemuda itulah biang keroknya!” suara kasar Mamtua Mai kembali menyeruak di liang telinga. Memanggil sebutir air mata yang langsung tersapu angin.

Ketika penyakit yang berujung kelumpuhan itu memperdayai Umbu Balaso, Rambu Mai memang mulai turut berubah. Sifat kerasnya mulai tampak nyata, banyak perhitungan, dan kadang terkesan kejam.

Meski malam sudah menua, bahkan kadang saat hujan deras mendera, ia tak segan-segan menyuruh seorang ata bawahannya untuk memeriksa atau membetulkan kerusakan-kerusakan di sawah, kebun, atau kandang ternak.

“Beta memberi makan mereka untuk bekerja, bukan untuk beranak-pinak saja,” getar suara mamtua-nya, penuh emosi.

Memiliki banyak ata memang sebuah kebanggaan tersendiri, sebab hal itu juga berpengaruh pada penghargaan dan rasa hormat dari sesama kaum maramba. Tapi tak ada yang tahu, Rambu Hollida ingin dipandang bukan lantaran status kebangsawanan, melainkan lantaran jasa, serta sumbangsih yang bisa ia berikan kepada banyak orang.

Diam-diam, Rambu Hollida pun menolak semua uang pemberian mamtua-nya. Ia berkeras akan lulus dengan hasil keringatnya sendiri. Diam-diam, uang kiriman itu Hollida berikan ke beberapa panti asuhan di daerah Tangerang.

“Sonde membenci mamtua-mu,” ujar Balaso dengan suara tertatih ketika Rambu Hollida tak kuasa lagi memendam rahasia buruk itu di hadapan baptua-nya.

“Dia seperti itu hanya karena takut jatuh miskin. Kekayaan hanyalah benda mati yang tak bisa berkembang jika tak ditanam dan dijaga dengan sungguh-sungguh. Maafkanlah mamtua-mu. Maafkan pula baptua-mu yang sudah tak bisa memberimu apa-apa ini…”

Lihat juga...