Suara-suara Angin

CERPEN ADI ZAMZAM

RAMBU Hollida seperti mendengar suara asing dalam angin yang mendesau di liang telinganya. Tapi suaranya timbul tenggelam tertimbun banyak kenangan.

Gemericik air Sungai Rindi terdengar nyata, mengalahkan hiruk-pikuk suara orang-orang di stadion. Bahkan kini Rambu Hollida bisa melihat ketika Angin menyebabkan kecipak besar melawan arus sungai yang tenang. Cahaya matahari tampak bergoyang-goyang…

“Jang (jangan) ribut… jang ribut… beta Hollida. Ayo, kenali majikan barumu… ”
Makhluk kecoklatan itu justru seperti kesetanan. Berlari ke sana ke mari, seolah ingin menarik tali kekang di tangan Rambu Hollida.

Arus Kali Rindi berkali-kali pecah. Namun bukan Rambu Hollida jika begitu saja langsung menyerah. Ditariknya tali kekang itu dengan lembut, mengikuti gerakan liar itu sendiri. Perlahan dan semakin perlahan menguat.

Hingga matahari meninggi. Hampir saja Rambu Hollida menyerah. Sebelum ketika tiba-tiba saja kuda itu terdiam. Namun bukannya Angin yang kelelahan. Tanpa dinyana, tubuh Rambu Hollida oleng lalu terseret arus. Saat itulah Angin memperlihatkan kebolehannya.

Ketika akhirnya Rambu Hollida berhasil naik ke punggung Angin dengan susah payah, sejak itulah persahabatan mereka dimulai.

“Beta menemukannya saat sabana di ujung desa kita terbakar kemarau. Dia terpisah dari induknya,” Balaso memulai ceritanya.

“Meskipun beta su (aku sudah) punya beberapa, tetap saja beta senang dengan kehadirannya. Hari demi hari ia pun mulai memperlihatkan kelebihannya. Kelebihannya berlari. Ia seperti angin. Jadilah kunamai Angin,” sambil menepuk bangga punggung Angin.

“Di Kali Rindilah katong (kami) memulai segalanya. Hingga akhirnya beta jadikan ia kaki terpercaya…”

Lihat juga...